Menulis mengikat pengetahuan, mengabadikan kenangan, membagi kebahagiaan

Monday, September 28, 2020

BELAJAR BERKUALITAS MELALUI KOMUNITAS

Manusia memiliki kebutuhan untuk hidup atau berkumpul bersama dengan manusia lainnya. Menyenangkan sekali jika kita bisa berkumpul dengan orang lain yang memiliki kesamaan dengan kita. Kesamaan inilah yang mendasari terbentuknya suatu komunitas dan menarik minat orang lain untuk bergabung ke dalamnya. Ketika saya mengikuti suami yang ditugaskan ke propinsi lain  (Sumatera Selatan) dan tinggal di lingkungan perkebunan dan pabrik gula pada tahun 2008, di sanalah awal saya masuk dalam beberapa komunitas baru yang memberi warna-warni pada hari-hari yang saya jalani.


Saya memilih mengikuti komunitas secara online saja, karena terbatas pada masalah transportasi untuk dapat bertatap muka dengan anggota lain. Komunitas yang pertama saya ikuti saat itu adalah sebuah grup crafter di Facebook yang dimotori oleh Nurul Septiani Tareem, namanya Ibu-Ibu Hobi Craft. Saat itu saya tertarik dengan aneka tutorial craft yang ada, terutama yang berupa jahitan (Sewing Craft). Ketika diadakan event Craft Swab atau pertukaran hasil karya, saya mendapat sebuah dompet rajut berbentuk kepik, dan mengirimkan sebuah dompet kain yang dijahit tangan, karena belum bisa menjahit dengan mesin. Inilah awal munculnya keinginan saya untuk memiliki dan bisa menggunakan mesin jahit.

Beberapa waktu kemudian saya juga bergabung dengan Grup Craftalova Fabric Club yang dibuat oleh mbak Ayu Ovira. Di grup ini saya mendapat banyak ilmu melalui berbagai tutorial yang dibagikan oleh sesama member. Saya juga menjadi percaya bahwa siapa pun bisa belajar menjahit, asalkan mau dan bersungguh-sungguh. Grup ini juga memiliki semacam sub grup yang dikhususkan untuk jual beli bahan Craft sehingga memudahkan member untuk mendapatkan alat dan bahan craft yang dibutuhkan. Sampai sekarang sebagian besar bahan tas dan kerajinan lain yang saya gunakan, diperoleh dari anggota grup ini.

Selain dunia craft, saya juga tertarik dengan kegiatan menulis. Lagi-lagi saya bergabung dengan sebuah grup Facebook bernama Komunitas Bisa Menulis, yang dibuat oleh sepasang suami istri penulis, Isa Alamsyah dan Asma Nadia. Setiap hari ada ratusan tulisan yang masuk, baik yang ditulis oleh para "penulis" maupun oleh member yang baru belajar menulis. Melalui komunitas ini saya juga melihat bahwa siapapun bisa menulis, dan siapapun yang tidak bisa, ia bisa belajar asalkan mau dan bersungguh-sungguh, termasuk belajar menulis yang baik dan benar sesuai kaidah penulisan dalam bahasa Indonesia.

Meskipun hanya menjadi anggota biasa pada komunitas-komunitas yang saya ikuti di atas, pada akhirnya saya menyadari bahwa dengan bergabung bersama sebuah komunitas, selain menambah jumlah teman, kita juga bisa lebih mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Dukungan teman-teman dengan minat yang sama, menjadi semacam penyemangat untuk bisa berkarya dan meningkatkan kualitas karya berikutnya.  Di kampung halaman saya, di Lampung Utara,  saya mencoba membangun komunitas membaca, yang diawali dengan membuat sebuah taman baca dengan target anak usia sekolah SD-SMP.  Tujuan kami sederhana saja, meningkatkan minat baca dan menyediakan fasilitas bacaan anak yang berkualitas.  Kami berharap dengan membaca itu lah jendela-jendela pengetahuan terbuka dan anak-anak bergerak, bersemangat untuk meraih cita-cita mereka.

Sunday, September 27, 2020

 MELATI

Dulu, waktu saya masih SD, ada buku bacaan pelajaran Bahasa Indonesia yang salah satu halamannya bercerita tentang bunga melati. Gambar pada buku terbitan Balai Pustaka itu tidak berwarna, tepatnya hanya berwarna hitam putih, tanaman melatinya digambarkan rimbun dan berbunga lebat. Saya suka sekali dengan gambar dan narasi tentang melati pada halaman itu. Saya suka dengan penampakan dan aroma bunga melati, harumnya lembut dan awet. 

Saya ingat dulu neneknya sepupu saya sering memetik bunga melati untuk dijadikan campuran teh tubruk buatannya. Sampai sekarang saya masih suka melati, Alhamdulillah di halaman rumah ada perdu melati yang rimbun dan rajin berbunga. Aroma bunga melati tercium lebih harum semerbak pada sore dan pagi hari, ketika udara dingin dan agak basah.



Melati atau nama ilmiahnya Jasminum sambac adalah perdu yang tumbuh merambat dan dapat hidup bertahun-bertahun, daun melati berwarna hijau tua dan duduk berhadapan, bunganya putih kecil dengan aroma wangi yang kuat. Bunga melati terpilih menjadi salah satu puspa bangsa. Gambar bunga melati tertera pada pecahan uang logam 500 rupiah keluaran tahun 1990-an dan tahun 2000-an. Melati juga banyak disebut dalam syair lagu, misalnya; Lihat Kebunku, Melati dari Jayagiri, Rangkaian Melati, Melati Suci dan lain-lain.


Bunga melati banyak dimanfaatkan untuk alasan kecantikan dan kesehatan. Dalam tradisi jawa dan sunda pengantin wanita biasanya memakai hiasan kepala yang terbuat dari rangkaian bunga melati. Minyak yang disuling dari bunga melati dijadikan bahan parfum, kosmetik dan juga aroma terapi. Penggemar minuman teh, pasti tahu nikmatnya menyesap teh aroma melati baik panas maupun dingin. Secara tradisional air rendaman bunga melati dapat digunakan sebagai penyegar wajah.

Tanaman asli daerah tropis ini cocok untuk dibudidayakan di Indonesia. Cara menanamnya pun sangat mudah, batang melati yang sudah berkayu tapi belum terlalu tua, dipangkas, lalu dipotong menjadi beberapa bagian. Potongan batang ini kemudian dapat langsung ditanam di tanah atau media tanam dalam pot dan disiram secara teratur, dalam waktu kurang lebih satu minggu, akan mulai muncul tunas baru. 


Meskipun tanaman hias dan bunga populer selalu muncul silih berganti, kepopuleran melati tetap bersemi. Keindahan dan wangi bunga melati memberikan efek menenangkan. Mungkin karena terkenal sebagai bunga biasa itu lah, tanaman melati jarang ditemui dijual di lapak-lapak bunga. Umumnya kita justru menemukan melati pada penjual bunga tabur. Padahal, menghirup udara pagi yang segar dengan aroma wangi melati yang menguar adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Tanaman melati juga tergolong bunga yang aman untuk ditanam, setidaknya kita tidak perlu repot-repot mengeluarkan tanaman ini di pagi hari lalu memasukkannya ke rumah di malam hari, agar tidak diambil pencuri.

Tuesday, September 15, 2020



SAYANGKU

Sayang, lihatlah pohon yang dulu kita tanam
Sekarang ia sudah tumbuh lebih besar
Batangnya yang dulu lemah, kini mulai kuat
Ranting-rantingnya bertambah dan berdaun lebat.

Sayang, bantu aku merawat tanaman kita
Menyiram, memupuk dan menyiangi gulma di sekitarnya
Lihat, pohon itu menari-nari bersama hembusan angin
Dan bernyanyi bersama rinai hujan

Sayang, nanti jika telah tiba saatnya
Biarkan kuncup-kuncup pohon ini mekar dengan sempurna
Biar aku dan kamu bisa menikmati keindahan itu
Dan memetik buah yang telah lama kita tunggu.

Pematang Wangi 16 September 2020, 
Mengenang tanggal yang sama di tempat yang berbeda, 14 tahun yang lalu

LASMI

Senja itu langit berwarna keemasan dan awan merah mulai nampak di cakrawala. Di depan toko besi Mega Baja dekat bundaran Haji Mena, sebuah bus antar kota jurusan Rajabasa-Kasui berhenti. Beberapa penumpang turun dan segera berlalu dengan kendaraan yang menjemput mereka, sebagian lagi memilih naik ojek yang banyak terdapat di sana. Suasana semakin ramai, warung-warung tenda sudah berdiri, harum aroma beraneka masakan merebak di udara. Pada kabel-kabel listrik yang membentang, kerumuman burung Sriti bertengger berjajar, sebagiannya lagi terbang kesana-kemari, hiruk pikuk menyambut datangnya malam. Sementara itu Lasmi mulai gelisah. Sudah lebih dari satu jam ia berdiri di tempatnya menunggu jemputan. Melalui pesan WA yang dikirimnya kemarin, Andri, calon suaminya, berjanji akan menjemputnya.


Sekarang langit sudah benar-benar gelap. Lasmi sudah lelah berdiri, perutnya juga kelaparan. Ia memutuskan untuk masuk ke salah satu warung tenda, memesan seporsi pecel lele dan segelas teh panas. Segar sekali rasanya ketika teh manis panas itu melewati kerongkongannya. Perlahan, ia keluarkan Hape dari dalam tas, dibacanya lagi pesan-pesan dari Andri. Hari ini kekasihnya itu pasti sibuk sehingga susah untuk dihubungi. Lelaki itu, dikenalnya Tiga bulan yang lalu. Mereka bertemu di Pinusan, sebuah lokasi ekowisata di Lampung Barat. Andri mengaku tinggal di Bandar Lampung dan bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta, sedangkan Lasmi sendiri tinggal di Ujan Mas, sebuah desa di dekat area Pinusan, sehari-hari Lasmi bekerja di toko pakaian milik kerabatnya. Setelah bertukar nomor telepon, mereka berdua mulai sering mengirim pesan dan video call. Hingga suatu hari Andri menyatakan cintanya dan bermaksud meminang Lasmi sebagai istri. Hati Lasmi berbunga-bunga menerima cinta Andri. Bayangan pernikahan dan pergi dari desanya menari-nari dibenaknya. Ya, sudah lama Lasmi merasa bosan tinggal di desanya. Gadis Dua puluh tiga tahun itu merasa terperangkap di kampungnya sendiri. Teman-teman seusianya sudah menikah, bekerja atau merantau ke Jawa. Lasmi juga ingin melihat dunia di luar sana. Kedua orang tua Lasmi sudah meninggal ketika ia berusia tujuh tahun. Sejak saat itu, Lasmi diasuh oleh Bibi, adik dari ibunya. Kini Lasmi bekerja di sebuah toko dan mengerjakan tugas sehari-hari di rumah bibinya itu.

Nasi di piring Lasmi sudah habis, rupanya Ia benar-benar kelaparan. Teh dalam gelas Lasmi masih tersisa seperempat lagi, ketika dua lelaki muda masuk ke warung tenda itu. Mereka duduk di meja sebelah Lasmi, sehingga ia bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka.

"Makan yang banyak Bro, gua yang traktir" kata lelaki yang memakai jaket hitam itu pada temannya.
"Aseek, tumben nih, lagi banyak duit lo?" Jawab si teman kegirangan. Sambil membuka topi merahnya, diraihnya daftar menu warung itu.
" Gua barusan dapet duit dari Andri" jawab si jaket hitam.
"Utangnya waktu main dulu itu?" Sahut si topi merah.
"Yoi, lumayan lah, baru bayar setengahnya dia, Lima juta, setengahnya lagi ntar katanya, minggu-minggu ini. Awas aja kalo dia nggak bayar, gua kan tahu rumah sama keluarganya"
"Udah kerja lagi tah si Andri, punya duit dia sekarang " si Topi merah bertanya, sambil meraih gelas kopi.
" Tau deh, cuman denger-denger sih dia dapet cewek waktu jalan-jalan ke Pinusan, suka ngasih duit tuh ceweknya, cinta mati kayaknya" jawab si jaket hitam.

Lasmi terkesiap, mendengar nama Andri dan Pinusan. Mungkinkah itu Andri yang dikenalnya, pikir Lasmi. Laki-laki itu memang pernah meminjam uang padanya, Sepuluh juta rupiah. Lasmi tidak punya uang sebanyak itu, maka mula-mula ia mengambil tabungannya sebanyak tiga juta rupiah, mengirimkannya pada Andri yang mengaku harus membiayai operasi Ayahnya. Lalu Lasmi mengirimkan semua gaji dan bonus yang didapat bulan berikutnya sebanyak dua juta rupiah. Karena masih kurang, Lasmi menjual kalung dan cincin hasil kerjanya bertahun-tahun sejak lulus SMA, uang itu ia kirimkan kemarin dengan tergesa-gesa karena Andri mengaku Ayahnya harus dioperasi hari itu juga. Hari ini Lasmi bermaksud menjenguk calon ayah mertuanya, meskipun awalnya melarang, tapi akhirnya Andri berjanji akan menjemputnya. Kekasihnya itu menyuruhnya menunggu di bundaran Haji Mena, ia berjanji akan menjemputnya.

Lasmi menggeser posisi duduknya, ia harus memastikan apakah Andri yang dibicarakan oleh kedua lelaki itu adalah kekasihnya.
Kedua lelaki itu sudah selesai makan. Si Jaket merah membaca pesan yang baru masuk di Hapenya.
"Cabut yok, ngambil duit tempat Andri udah dapet dia yang lima juta" ajaknya pada temannya.
" Aseek, besok-besok ajak main lagi si Andri Bos, pesta terus kita, hahaha".

Lutut Lasmi bergetar, tungkainya terasa lemas. Dia hampir tak mendengar apa yang dikatakan pemilik warung, saat menanyakan apakah Lasmi sudah selesai makan. Tiba-tiba Lasmi sadar, dia harus mengejar kedua lelaki tadi dan mencari tahu di mana rumah Andri. Tapi terlambat, sepeda motor kedua lelaki itu sudah melaju di jalan raya. Lasmi mematung beberapa saat, lalu masuk kembali ke dalam warung, membayar makanannya dan meraih tasnya. Lasmi ingin pulang, malam ini juga.

KERIPIK PISANG LAMPUNG

Sore-sore, duduk di beranda atau ruang keluarga, menyesap secangkir kopi atau teh panas, sambil menikmati renyahnya keripik pisang adalah suatu hal yang lumrah ketika saya pulang ke rumah mamak di Bukit Kemuning. Cemilan itu biasanya hasil olahan mamak sendiri atau diolah oleh Mak Yem, kakak ipar Mamak, yang rumahnya di sebelah rumah kami. Keripik pisang merupakan makanan ringan yang umum dijumpai di rumah. Lampung sendiri merupakan salah satu daerah penghasil komoditas pisang. Tidak hanya untuk konsumsi lokal, pisang dari Lampung juga dijual ke daerah lain terutama pulau Jawa.


Keripik pisang kini menjadi salah satu oleh-oleh khas dari Lampung, tidak lengkap rasanya mengunjungi Lampung tanpa membeli oleh-oleh keripik pisang . Beraneka variannrasa dapat dinikmati oleh konsumen, mulai dari yang original hanya berbumbu garam, sampai varian cokelat, keju, balado, pedas manis, melon, jagung bakar dan lain-lain. Proses pembuatan keripik pisang termasuk mudah. Mula-mula pisang mentah dikupas kemudian diiris tipis-tipis. Irisan pisang kemudian direndam dalam air kapur sirih, setelah ditiriskan barulah pisang digoreng hingga kering. Untuk mendapatkan rasa asin, penambahan garam biasanya dilakukan saat menggoreng. Beberapa produsen keripik tidak melakukan proses perendaman pisang dalam kapur sirih. Pisang yang sudah dikupas, diiris dengan alat khusus langsung di atas kuali yang berisi minyak panas. Adapun jenis pisang yang paling umum digunakan sebagai bahan baku adalah pisang kepok, meskipun begitu jenis pisang lain juga dapat dibuat menjadi keripik.
Di Bandar Lampung, bahkan ada sebuah jalan yang menjadi sentra penjualan keripik, banyak UMKM yang membuka gerai keripiknya di sini. Jalan Pagar Alam atau juga sering disebut Gang PU adalah destinasi yang wajib anda kunjungi jika ingin berburu oleh-oleh khas Lampung.

Jika anda ke Lampung, namun bukan ke Bandar Lampung, keripik pisang pun tetap tersedia di mana-mana, hampir di semua pelosok Lampung terdapat prosusen keripik lokal. Di Lampung Utara misalnya, ada keripik pisang Fanana, yang juga tersedia dalam berbagai varian rasa. Ketersediaan bahan baku dan kelezatan cemilan ini, serta harganya yang terjangkau membuat keripik pisang bisa diproduksi di mana saja di Lampung dan tetap memiliki konsumen yang setia. Saya sendiri juga penikmat keripik pisang, varian yang saya sukai adalah rasa original asin gurih dan wijen.

Pada masa pandemi ini, ketika lebih banyak waktu dihabiskan di rumah, saya sangat menikmati melakukan tugas-tugas sambil sesekali mencomot keripik pisang dari wadahnya. Jika anda belum berkesempatan ke Lampung, aneka keripik ini juga dijual secara online diberbagai market place, pilih saja rasa yang anda suka dan nikmati kelezatannya.

PENDEKAR TONGKAT EMAS (Resensi Film)



Judul: Pendekar Tongkat Emas
Tahun Produksi: 2014
Tanggal Tayang: 18 Desember 2014
Jenis Film: Laga/ Silat
Durasi: 112 menit
Negara Asal: Indonesia
Sutradara: Ifa Isfansyah
Penulis Naskah: Jujur Prananto, Mira Lesmana, Seno Gumira Ajidarma

Produser: Mira Lesmana, Riri Riza
Produksi: Miles Film
Pemain: Christine Hakim, Eva Celia, Reza Rahardian, Tara Basro, Aria Kusumah, Nicholas Saputra, Darius Sinathrya, Prisia Nasution, Slamet Raharjo


Film dibuka dengan adegan Cempaka (Christine Hakim) seorang pesilat hebat bergelar Pendekar Tongkat Emas, sedang berlatih, disambung dengan narasi tentang kehidupan seorang pendekar dan beberapa pertarungan. Cempaka kemudian memperkenalkan murid-murid sekaligus anak angkatnya, yaitu Mirah Dara (Eva Celia), Daya Gerhana (Tara Basro), dan Lembah Angin (Aria Kusumah). Kecuali Angin, ketiga anak angkat Cempaka adalah anak dari musuh-musuh yang dikalahkan dan terbunuh oleh Cempaka sendiri. Ia mengasuh mereka sebagai bentuk pertanggungjawaban karena telah membunuh orang tua mereka. Sedangkan Angin adalah anak yang dibuang dan ia temukan, kemudian juga diasuh sebagai anak sekaligus murid.

Hari itu, Cempaka mengutus Biru dan Gerhana menyaksikan pertandingan silat di Perguruan Sayap Merah dan berpesan agar mereka kembali pada malam hari, untuk menemuinya, bersama Dara dan Angin. Ternyata, Cempaka mewariskan senjata pusaka Tongkat Emas sekaligus jurus pamungkasnya. Alih-alih mewariskan pada Biru yang merupakan murid tertua dan terkuat, Cempaka justru memilih Dara. Ia akan pergi membawa Dara untuk berlatih jurus itu dan juga membawa angin dengan alasan untuk menjaga kesehatannya yang kian memburuk.

Keesokan harinya, di tengah perjalanan, Biru dan Gerhana menyergap guru dan adik seperguruan mereka. Biru tidak terima tongkat emas jatuh ke tangan orang lain. Cempaka berusaha melindungi Dara dan angin, hingga ia tewas di tangan muridnya sendiri. Meskipun awalnya Dara dan Angin berhasil melarikan diri, namun Biru dan Gerhana berhasil mengejar mereka. Dara dan Angin terjatuh ke dalam jurang setelah terkena pukulan Biru, namun mayat mereka dan tongkat emas tidak ditemukan di dasar jurang.

Biru dan Gerhana kembali ke Perguruan Sayap Merah, mereka menyebarkan fitnah bahwa Dara telah membunuh Cempaka dan kabur membawa tongkat emas. Para pendekar dikerahkan untuk memburu Dara. Biru dan Gerhana kemudian mengajukan diri menjadi murid Perguruan Sayap Merah. Sementara itu, Dara dan Angin rupanya diselamatkan oleh Elang (Nicholas Saputra), yang membawa mereka ke sebuah perkampungan. Ketika kondisi Dara dan Angin membaik dan mereka hendak melanjutkan perjalanan, Elang bertanya apakah mereka tahu kemana harus mencari Pendekar Naga Putih. Hal ini mengejutkan Dara dan Biru dan mempertanyakan identitas Elang, sebab pada malam Cempaka mewariskan tongkat emas, sang Guru berwasiat apabila ia meninggal sebelum sempat mengajarkan jurus pamungkas yaitu tongkat emas melingkar bumi, Dara dan Angin harus menemui Pendekar Naga Putih. Rupanya hanya ada dua orang yang menguasai jurus pamungkas tongkat emas yaitu Cempaka dan Naga Putih.

Ketika Elang sedang keluar dari perkampungan, para pendekar menyerbu untuk menangkap Dara. Angin mengorbankan dirinya agar Dara dapat selamat. Namun, keesokan harinya Dara kembali ke perkampungan dan mendapat pesan agar menyerahkan tongkat emas jika ingin membebaskan Angin. Dara terpaksa menukar tongkat emas dengan Angin. Tidak puas hanya mendapat tongkat emas, Biru dan Gerhana mengejar Dara dan Angin. Kali ini Angin mengorbankan nyawanya menyelamatkan Dara. Kembali ke Perguruan Sayap Merah, Gerhana dan Biru berhasil memperdaya pimpinan Perguruan sehingga Biru menjadi pewaris perguruan. Ia kemudian mengganti nama Perguruan Sayap Merah menjadi Perguruan Tongkat Emas. Perguruan-perguruan silat lain kemudian lebih memilih bergabung dengan Biru, daripada menentang yang beresiko dihancurkan.

Dara kembali bertemu dengan Elang, yang ternyata adalah anak dari Cempaka dan Pendekar Naga Putih (Darius Sinathrya). Elang juga menguasai jurus pamungkas tongkat emas. Bertekad untuk merebut kembali tongkat emas dan menuntut keadilan atas kematian guru dan adik seperguruannya, Dara pun dengan mantap memohon untuk menjadi murid Elang dan diizinkan berlatih jurus pamungkas yang ternyata harus dilakukan berpasangan. Berhasilkah Dara menjalankan misi itu? pembaca harus menonton sendiri kelanjutan film ini.

Kehadiran film silat berlatar jaman para pendekar merupakan angin segar di dunia perfilman Indonesia. Film ini menjadi semacam pengobat rindu bagi penggemar film silat, katakanlah generasi penikmat film Saur Sepuh, Tutur Tinular, Si Buta dari Goa Hantu dan sejenisnya, juga generasi yang sempat membaca novel sejenis Wiro Sableng atau Pendekar Rajawali Sakti. 
Pemilihan lokasi syuting di Sumba Timur yang eksotis juga menambahkan nilai tersendiri. Panorama padang rumput yang luas dan bukit-bukit hijau di bawah langit biru, seakan membawa penonton ke sebuah negri para peri. Sayangnya, meskipun judulnya Pendekar Tongkat Emas, namun permainan tongkat sebagai senjata pada film ini terkesan biasa saja, tidak ada adegan memainkan tongkat sambil beratraksi seperti para murid kuil shaolin misalnya. Selain itu dalam film ini juga masih ada adegan klise khas film silat, yaitu ketika sang tokoh utama jatuh ke jurang namun tetap selamat, karena ditangkap oleh sang penolong yang entah bagaimana kebetulan lewat di lokasi itu.

Tokoh Cempaka, meskipun hanya ada di bagian awal film, tetap menjadi tokoh sentral film ini, ia adalah gambaran seorang guru yang terpaksa 'menelantarkan' anaknya sendiri, demi sebuah tanggung jawab. Sekaligus sebuah penggambaran upaya membayar hutang nyawa yang gagal, meskipun Cempaka mengasuh anak-anak musuhnya, ternyata dendam tetap bersemayam dalam hati anak-anak itu. Film ini meraih penghargaan pada Festival Film Indonesia tahun 2015 untuk kategori pemeran pendukung wanita terbaik yang diraih oleh Christine Hakim dan pemeran anak-anak terbaik oleh Aria Kusumah, yang tampil menawan dengan kepala gundulnya.


Pematang Wangi 15 September 2020, Berkejaran dengan waktu.

#KLIP_SEPT_2020
#15_09_2020_01 

Sunday, September 13, 2020

DINDIN BADINDIN

...

Ikolah indang oi sungai garinggiang

Kami tarikan basamo-samo

Sambuiklah salam oi sambah mairiang

Pado dunsanak alek nan tibo

...



Suatu pagi, sesaat setelah mendengar bait lagu itu, tiba-tiba raut muka anak keduaku, si Teteh, berubah muram. Dengan nada kecewa ia berkata:

" ini kan, lagu itu kan, dindin badindin?"

"Iya, kenapa teh?" jawabku.

"Aku kan udah pernah latihan nari lagu ini, sama Bu Septa".

"Oh, iya ya. Teteh pernah ikut ekskul nari ya waktu itu" jawabku lagi.


Sebelum era Sekolah Dari Rumah (School From Home) gara-gara covid-19, si teteh ikut ekskul menari di sekolahnya. Rencananya saat acara parenting yang sekaligus pentas seni, teteh dan teman-temannya akan menampilkan tarian Dindin Bandindin. Latihan demi latihan dilakukan anak-anak sepulang sekolah pada jam ekskul masing-masing.


Kebijakan Sekolah Dari Rumah, membuat acara parenting juga ditiadakan. Bukan sekali-dua kali anak-anak di rumah mengeluh bosan, capek, kangen Bu guru, kangen teman-teman sekolah dan sebagainya tentang sekolahnya. Saya yakin keluhan seperti ini juga disampaikan anak-anak di rumah lain, di tempat lain bahkan di negara lain, yang sama-sama menerapkan kebijakan Sekolah Dari Rumah, demi menyelamatkan anak-anak dari wabah Korona.


Tentang lagu dan tari Dindin Badindin itu, ada kekecewaan yang lain yang dirasakan oleh si Teteh. Sebuah bentuk kekecewaan seakan-akan apa yang telah ia lakukan selama ini sia-sia, karena sudah capek-capek latihan tapi tidak jadi tampil. Anak ini memang suka dan menikmati ekskul tarinya, kadang-kadang kami yang ada di rumah dipaksa jadi penonton penampilannya menari, pura-pura sedang tampil di suatu acara. Susah payah kami menjelaskan padanya bahwa kita manusia hanya bisa berencana, tapi tetap Allah juga yang menentukan kenyataannya.


Menghadapi tahun ajaran baru, selain hiruk-pikuk mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), hiruk-pikuk pula pertanyaan dan pendapat apakah anak-anak masih belajar di rumah atau ke sekolah seperti dulu. Kebijakan New Normal membuat para pencari nafkah (ayah dan atau ibu) terpaksa keluar rumah lagi meskipun wabah belum berakhir. Siapa yang akan menemani anak-anak ini belajar jika tetap sekolah dari rumah?. 

Di sisi lain banyak orang tua yang ketar-ketir melepas anak keluar rumah, terutama anak-anak yang masih usia Sekolah Dasar dan Usia Dini.  SOP belajar era New Normal memang sudah beredar, tapi keraguan dan kekhawatiran itu tetap ada, baik dari pihak orang tua, maupun guru-guru di sekolah.


Kalau saya pribadi, saya lebih mengutamakan keselamatan anak-anak, daripada takut ketinggalan pelajaran. Biarlah anak-anak belajar di rumah lebih lama, semampunya, semampu orang tua mendampinginya. Wabah ini benar-benar membuat kita semua belajar sabar, kuat, hemat, empati dan sebagainya secara nyata, bukan cuma teori seperti yang tertera di buku pelajaran anak-anak kita. Bukankah ini sebuah pelajaran yang sangat berharga?.


#KLIP_JUNI_2020

#29_06_2020_09

MUHDI (Review Buku)



Ayah adalah pemimpin keluarga, hal ini sudah difahami oleh kita semua. Sayangnya banyak orang yang membatasi peran kpemimpinan itu hanya dalam hal tanggung jawab pemenuhan nafkah, sehingga sebagian besar ayah tidak atau jarang terlibat aktif dalam hal pengasuhan anak. Kehadiran ayah dalam kehidupan anak sama pentingnya dengan kehadiran ibu. Meskipun cara ayah mendidik anaknya berbeda dengan cara sang ibu, namun, justru itulah yang menjadikan ayah seistimewa ibu. Kehilangan sosok ayah menjadi sebuah kehilangan yang besar bagi sebuah keluarga, namun kenangan yang dibangun bersama ayah dan nilai-nilai yang diwariskan akan hidup selamanya.


Buku "Muhdi" menceritakan kisah-kisah inspiratif bagaimana seorang ayah mendidik sepuluh anaknya. Lebih tepatnya buku ini menceritakan pengalaman dan kenangan masing-masing anak bersama sang ayah. Muhdi adalah seorang ayah yang bekerja sebagai PNS Departemen Agama di Banten. Ia secara bersahaja berusaha memberikan semua yang terbaik bagi anak-anaknya terutama dalam hal pendidikan, dengan segala kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki. Kesepuluh orang anak-anak Muhdi membagikan kisah mereka dengan bahasa tutur masing-masing. Delapan anak laki-laki dan dua perempuan, yang sekarang sudah dewasa, mengabadikan saat-saat istimewa mereka bersama ayah sebagai bentuk catatan kerinduan ketika sang ayah telah pergi untuk selamanya.

Parenting ala santri, demikian label yang disematkan pada buku yang ditulis dalam rangka mengenang empat puluh hari kepergian sang ayah ini. Keseharian hidup sang ayah dan keluarga sebagai santri NU yang lekat dengan kesederhanaan dan keteguhan dalam menerapkan nilai-nilai islami, diceritakan dengan bahasa yang ringan dan mengalir. Ada kisah yang dapat membuat pembaca tersenyum, tertawa, bahkan menangis, mengikuti kisah anak-anak Muhdi, terutama pengalaman di masa kanak-kanak dan remaja.
Sosok almarhum Muhdi menjadi sampul muka buku ini, sementara foto masing-masing anak dan keluarganya dicantumkan dalam setiap sub judul yang berisi kisah mereka secara berurutan, dari anak pertama sampai ke sepuluh.

Secara tampilan, buku ini memang terkesan biasa saja, hal ini mungkin bisa dimaklumi karena keseluruhan proses dari menulis, editing dan penerbitan terkendala waktu yang sangat terbatas. Adapun sebagai sebuah buku yang ditulis dan diterbitkan sendiri oleh sebuah keluarga, berdasarkan pengalaman nyata dan telah dirasakan manfaatnya, buku ini layak untuk dibaca terutama oleh para ayah dan calon ayah di sekitar kita. Buku ini juga mengingatkan bahwa selamanya kenangan bersama ayah terlalu manis untuk dilupakan.

Friday, September 11, 2020

BUKU RAHASIA (Diedit)

Pada akhir bulan Agustus yang lalu, aku dan anak-anak pindah ke Bandar Lampung. Sebelumnya, selama tiga tahun ini, kami tinggal di Bukit Kemuning, Lampung Utara, sedangkan ayah mereka bekerja dan tinggal di Bandar Lampung. Kami menjalani LDM (Long Distance Marriage) mengikuti istilah zaman sekarang. Barang-barang pindahan kami dikemas dalam box-box plastik dan kemudian diangkut dengan truk.




Saat proses berkemas-kemas, anak sulungku, Silmi, menemukan sebuah buku kecil. Ia membacanya dan terpekik;
"Ini catatan Umi waktu mau melahirkan aku?" Ia bertanya.
"Iya mbak, baca aja kalau mau" jawabku.
"Wow, berarti ini ditulis tahun 2008, sudah 12 tahun yang lalu". Ia membaca catatan itu dengan takjub.
Kenyataannya memang begitu. Dua belas tahun yang lalu, aku ingin mengabadikan proses kelahirannya dalam bentuk tulisan, untuk ia baca nanti, ketika ia sudah besar. Rupanya ia menemukan buku itu saat berusia dua belas tahun

Pada tahun 2011, aku sempat membuat blog. Dengan pengetahuan yang terbatas, blog itu jadi dengan ala kadarnya dan terbengkalai. Selanjutnya aku lebih suka menulis di Facebook, sekedar untuk bersenang-senang, meluahkan rasa dan pendapat. Semakin lama aku semakin suka menulis dan mengunggahnya ke media sosial. Ketika suatu hari dibuka kelas membuat blog dan menulis, aku langsung ikut. Kupikir ini adalah kesempatan bagus untuk meningkatkan ketrampilanku dalam hal menulis dan ngeblog. Aku ingin punya blog yang bagus, bermanfaat dan banyak dikunjungi, sehingga bisa digunakan untuk menyebarkan kebaikan. Mentor yang super keren dan teman-teman yang luar biasa membuatku ikut bersemangat mengikuti kelas ini.

Bandar Lampung 11 September 2020, Diedit Saat Baby Ghazu tertidur lelap.

Thursday, September 10, 2020

JILBAB MARUN


Setelah menunggu sekitar 15 menit bus yang kutunggu datang juga, meskipun bukan AC. Ternyata penumpang bus ini cuma sedikit. Sepasang lelaki-perempuan sepertinya suami-istri, dua siswa SMK, seorang lelaki muda usia sekitar 20an dan aku. Kalau ditambah sopir di depan dan kondektur di belakang sana, hanya ada 8 orang dalam kendaraan besar ini. 

Di daerah Kebun Empat seorang wanita paruh baya, naik. Sekarang kami jadi bersembilan menikmati perjalanan sore ini.


Lelaki muda itu turun di Mulang Maya, dua anak SMK turun di Ogan Lima, ibu paruh baya turun di Cahaya Negri, suami-istri itu turun di Pulau Panggung. Hari mulai gelap, sudah lewat waktu magrib. Tinggal aku saja penumpang yang belum turun.


Kondektur itu sekarang duduk di kursi tepat di depanku, nampaknya Ia kelelahan, kakinya diluruskan. Dalam hati aku bertanya-tanya, berapa mulut yang harus ia beri makan?, masih kecilkah anak(-anaknya)?, apakah anaknya sedang menunggu-nunggu kepulangannya? seperti anak-anakku yang berkali-kali mengirim pesan kapan sampai?. Tidak sopan rasanya kalau aku bertanya langsung, jadi aku diam saja, sambil membalas pesan-pesan yang masuk di ponselku.

Akhirnya aku sampai di tujuan, sebelum melompat turun aku menoleh padanya sambil tersenyum

"Makasih ya Pak, Bu..." 

"Iya..."

Kondektur itu membalas ucapanku sambil tersenyum juga. Cahaya lampu yang temaram membuat kerudungnya yang berwarna marun terlihat lebih gelap.


Bukit Kemuning 26 September 2019

Wednesday, September 9, 2020

BUKU RAHASIA


Akhir Agustus yang lalu, aku dan anak-anak pindah ke Bandar Lampung. Sebelumnya, selama tiga tahun ini, kami tinggal di Bukit Kemuning, sementara bapaknya anak-anak bekerja dan tinggal di Bandar Lampung LDR istilah jaman sekarang. Barang-badang bawaan kami dikemas dalam box-box plastik dan diangkut dengan truk.


Saat proses beres-beres, anak sulungku, Silmi, menemukan sebuah buku kecil, Ia membacanya dan terpekik;
"Ini catatan Umi waktu mau melahirkan aku?" Ia bertanya.
"Iya mbak, baca aja kalau mau" jawabku.
"Wow, berarti ini ditulis tahun 2008, sudah 12 tahun yang lalu".
Kenyataannya memang begitu. Dua belas tahun yang lalu, aku ingin mengabadikan proses kelahirannya dalam bentuk tulisan, untuk ia baca nanti, ketika ia sudah besar. Rupanya ia menemukannya saat berusia Dua belas tahunan.

Pada tahun 2011, aku sempat membuat blog. Dengan pengetahuan yang terbatas, blog itu jadi ala kadarnya dan terbengkalai. Selanjutnya aku lebih suka menulis di Facebook, sekedar untuk bersenang-senang, meluahkan rasa dan pendapat. Semakin lama aku semakin suka menulis dan mengunggahnya ke medsos. Sehingga ketika suatu hari dibuka kelas ngeblog dan Nulis, aku langsung ikut. Kupikir ini adalah kesempatan bagus untuk meningkatkan ketrampilanku dalam hal menulis dan ngeblog. Aku ingin punya blog yang bagus, bermafaat dan banyak dikunjungi viewer. Mentor yang super keren dan teman-teman yang luar biasa membuatku ikut bersemangat mengikuti kelas ini.

Bandar Lampung 10 September 2020, Saat Baby Ghazu tertidur lelap.

BELALANG KUNGFU



Aku memperlihatkan sebuah foto pada anak keduaku.

"Teh, apakah kamu melihat ada seekor binatang di foto ini?"

"Mmmm... apa ya?"

"Coba perhatikan baik-baik"

" Aha, Belalang Kungfu!"

"Kok, Belalang Kungfu?"

" Iya, Kan ini yang ada di Film Kungfu Panda itu"


Padahal aku mengira anak ini akan menjawab "Mentada-mentadu" seperti yang di film Upin-Ipin. Rupanya dia lebih ingat pada tokoh "Mantis" dari perguruan kungfunya Master Shifu daripada belalang sembah yang tertangkap oleh anak-anak kampong durian runtuh itu.


Belalang sembah atau dalam bahasa Inggris disebut Praying Mantis adalah hewan dari ordo Mantodea. Dalam bahasa jawa ia dikenal dengan nama Walang Kekek atau Walang Kadung, sedangkan dalam bahasa sunda disebut Cancorang. Bahkan ada sebuah lagu jawa yang menyebutkan nama hewan ini, judulnya "Walang Kekek" dan sempat dinyanyikan oleh penyanyi jawa legendaris Waljinah.  Ada juga Tim pemadam kebakaran yang dinamai pasukan Walang Kadung.  Belalang sembah yang banyak ditemui di Indonesia adalah jenis yang berwarna hijau dan warna kecoklatan.


Berbeda dengan belalang biasa yang sering kita jumpai, di mana mereka termasuk hama yang memakan daun-daun muda tanaman, belalang sembah justru termasuk predator hama tersebut. Ia memakan serangga lain, bahkan sang betina seringkali memakan sang pejantan usai melakukan kopulasi, diduga karena ia butuh protein yang banyak untuk perkembangan calon anak-anaknya, atau barangkali, bisa jadi untuk memastikan sang pejantan tidak membuahi betina lain. 


Kalau suatu saat Bapak/Ibu menemukan tanaman atau bunga-bunga di halaman dengan daun-daun yang prigis atau bolong-bolong dan kebetulan ada belalang sembah nongkrong di situ, tolong jangan ditangkap. Bukan dia pelakunya, justru dia ada di sana untuk menghabisi hama yang merusak tanaman saudara-saudara sekalian. 

Dan biarlah anakku mengenalnya dengan nama Mantis si belalang kungfu, meskipun aku lebih menyukai tokoh kungfu yang lain, yaitu Chinmi.


#KLIPFEB2020

#18_02_2020_09

POHON DEWANDARU


Ceremai Jepang, begitu buah ini biasa disebut, ada juga yang menyebutnya ceremai belanda, padahal aslinya buah ini berasal dari Amerika Selatan.  Penampakan pohon dan daunnya mirip pacar kayu, perdu dengan daun-daun kecil berwarna tembaga saat masih muda dan perlahan-lahan menjadi hijau tua. Bentuk buahnya unik, bulat berusuk delapan mirip lampion kecil, kalau sudah merah pertanda buah sudah masak, kelihatan indah sekali bergelayut di ranting-rantingnya.  Rasa buah ini asam manis dengan sedikit rasa kelat dan sengir yang khas.


Konon,dalam bahasa Jawa, Dewandaru berarti pesan dari para dewa. Nama pohon ini muncul dalam  kisah pewayangan Mahabarata pada lakon "Wahyu Dewandaru", di mana Duryudana dan Arjuna bersaing untuk mendapatkan Dewandaru. Dalam kisah itu, ada juga sosok perempuan cantik yang berperan sebagai penggoda iman bernama Sri Sumilih.  Selain itu, beredar pula mitos tentang kesaktian si pohon Dewandaru ini terutama di kalangan penggemar klenik.


Pohon yang bernama ilmiah Eugenia uniflora ini dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional, terutama bagian daunnya karena mengandung senyawa flavonoid dan fenolik. Rebusan daun dapat dimanfaatkan untuk obat penurun panas dan pereda diare.


Terlepas dari mitos dan kisah di balik pohon Dewandaru, saran saya selama bulan ramadan ini terutama saat siang hari, jangan sering-sering memandang buahnya yang sudah masak. Warnanya yang merah menggoda bisa mengingatkan pada lembutnya buah ini ketika digigit, disusul rasa asam-manis yang langsung menyerbu, dan diakhiri dengan aftertaste kelat yang menempel di lidah.  Sebagai gantinya mari kita tilawah, memasak, menjahit, membaca atau tidur siang saja.  Selamat berpuasa, insyaAllah Ramadan ini penuh berkah.


#KLIPAPRIL2020

#26_04_2020_06

ANDONG LAUT

 


Sebagian dari kita mungkin mengenal andong sebagai moda transportasi berupa kereta tradisional yang ditarik kuda. Lalu, apakah andong laut berarti kereta kuda yang berjalan di laut?. Ternyata andong laut justru tidak ada hubungannya dengan kereta, kuda, bahkan laut itu sendiri. Ia adalah salah satu spesies tanaman berupa perdu dengan penampakan daun yang indah, kecil bergerigi dan mengkilap. Beberapa varietas andong laut dimanfaatkan sebagai tanaman hias.


Andong laut yang nampak dalam foto tulisan ini, adalah jenis yang umum (bukan variegata). Jenis ini sering digunakan sebagai tanaman pagar atau pembatas pekarangan di kampung-kampung. Tanaman ini ternyata dapat juga dimakan (edible) yaitu bagian daun atau pucuknya yang muda. Dikonsumsi dalam bentuk lalapan mentah, rebusan, bisa juga dimasak tumis atau gulai. 

Pemanfaatan andong laut juga digunakan sebagai obat tradisional, meliputi penurun panas, peluruh kencing, juga menghentikan pendarahan. 


Jadi, kalau kebetulan di halaman rumahmu ada tanaman ini, jangan disia-siakan ya. Manfaatkan sebaik-baiknya, paling tidak sebagai sumber serat (sayuran) gratis. Apalagi di saat-saat kita semua harus hemat begini. Rasa daunnya mirip-mirip kenikir tapi lebih renyah. Saya pribadi lebih suka mengonsumsi daun andong laut yang diblansir terlebih dulu, dengan pelengkap sambal terasi, terasa lezat dan segar di mulut. Selamat mencoba. 


#KLIPAPRIL2020

#28_04_2020_08

TANGAN-TANGAN AJAIB


Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah sebelah, ketika sampai di halaman tiba-tiba sandal jepit saya putus, padahal itu adalah sandal saya yang paling bagus.  Warnanya hitam, di bagian serampatnya ada hiasan kristal-kristal seperti butiran berlian (yang tentu saja palsu), harganya kalau tidak salah Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah, beli di pasar tempel Way Halim. Kepalang tanggung, saya tetap saja melanjutkan berjalan ke rumah sebelah. 


Setelah urusan saya selesai, pulangnya sandal putus itu saya pakai lagi, dan ajaib!, talinya sudah tersambung lagi. Sambil berjalan pulang, saya menebak-nebak pasti ada orang yang memperbaiki, sewaktu saya di dalam tadi.


Beberapa Tahun yang lalu, saat masih tinggal di komplek pabrik gula di Ogan Ilir, saya juga sering menemukan benda-benda yang ditaruh begitu saja di handle pintu atau di paku yang tertancap di tembok.  Biasanya berupa makanan, kadang nasi kotak, kue-kue, buah , makanan ringan dan lain-lain. Kadang-kadang ada pesan tertulisnya, kadang-kadang tidak. 


Jauh bertahun-tahun sebelumnya, sewaktu tinggal di Bandar Lampung, saya juga sering menemukan seikat sayuran, sepapan tempe, seplastik tahu, bahkan sebungkus mie ayam atau makanan lain di depan pintu.  Kalau yang ini saya bisa menebak dengan mudah siapa pelakunya.


Tangan-tangan yang tidak terlihat itu, yang meletakkan benda-benda di depan pintu, atau yang memperbaiki barang-barang tanpa setahu saya, adalah tangan-tangan yang menyampaikan kebaikan.  Bayangkan, siang-siang pulang dari suatu tempat dalam keadaan lapar, menemukan makanan yang siap di makan. Atau pagi-pagi ketika berpikir masak apa hari ini, disambut seikat sayuran segar. Atau ketika saya berpikir apakah saya akan jalan memakai sandal sebelah atau telanjang kaki sekalian, eh ternyata sandalnya bagus lagi.


Percayalah, tidak ada kebaikan yang receh. Sekecil apapun, seringan apapun bagi pelakunya, sebuah kebaikan tetaplah sangat berharga. Bahkan jika ia hanya seberat biji sawi, tak ada kebaikan yang sia-sia.


#KLIP_MEI_2020

#02_03_2020_02

MISI MENYELAMATKAN NUTKIN*


Hari masih pagi, ayuk tukang sayur langganan belum datang. Saya sedang asyik menyelesaikan jahitan masker.  Teteh dan adek pamit mau main sepeda di halaman belakang bengkel.  Beberapa menit kemudian mereka sudah balik lagi, laporan hasil keliling bersepeda sambil ngos-ngosan dan keringatan.  Mama umi mematikan mesin jahit dan pasang muka serius.


" Kalau sudah nggak keringatan, mandi ya, sudah siang nih"

"OK mi, boleh nggak kalo kami main lagi dulu"

"Nggak boleh, kalau main lagi nanti keringatan lagi, mandi dulu baru main lagi".


Serempak mereka berlari ke belakang untuk siap-siap mandi. Namun baru beberapa detik sudah balik lagi juga.


"Mi, di bak kamar mandi ada tikus!" Seru si Teteh.

"Iya mi, tikusnya kecemplung bak mandi!" adek menyambung tak kalah antusias.

" Tikus, apa tupai?, coba lihat lagi!"


Sudah lama tidak ada tikus di rumah ini, jadi Mama Umi menduga yang masuk bak mandi itu adalah tupai. Di belakang rumah sering ada tupai berloncatan di pohon asam, manggis, mangga, nangka, jambu dan kelapa.  Bak kamar mandi tidak diisi air lagi, jadi saya tidak terlalu mengkhawatirkan keselamatan hewan apapun yang kecemplung itu.


"Mi, ternyata itu tupai" kata teteh.

"Iya mi, tupai" sambung adek.

"Darimana kalian tahu itu tupai?"

"Ekornya ada bulu-bulunya eee...mekar gitu" jawab teteh.

"Iya mi" dukung adek. 

(Sebenarnya saya tergelitik untuk menjelaskan bulu itu milik burung, sedangkan mamalia termasuk tupai itu berambut, tapi kayaknya level ini belum saatnya).

"Ok, baknya nggak ada airnya kan, berarti dia nggak tenggelam kan?".

"Ada mi, ada airnya"

"Waduh, kasian dong dia kedinginan, ayo kita keluarin dia".


Anak-anak ikut ke kamar mandi. Di dalam bak yang terisi air kira-kira setinggi satu jengkal, terlihat makhluk mungil itu mengangkat kepalanya agar tidak terendam air. Saya segera mencabut sumbat bak mandi. Kemudian mengambil sebuah ember, memasukkannya ke bak mandi, menggulingkan embernya dan hati-hati berkata pada binatang kecil berambut coklat itu.


" Ayo Nutkin, masuk ke ember ini, jangan takut kami cuma mau menyelamatkanmu"


Tupai itu seperti mengerti, ia masuk ke dalam ember. Kami membawa ember itu ke halaman belakang. Beberapa saat, ia diam saja, mungkin sedang memulihkan tenaga.  Lalu tiba-tiba di depan pohon nangka tupai kecil itu melompat dan anak-anak berseru kegirangan, mengetahui tupai itu baik-baik saja.


"Da-da Nutkin, sampai jumpa, lain kali hati-hati ya

..!"

Anak-anak melambaikan tangan ke arah perginya si tupai.  Mereka segera balik kanan bersiap untuk main lagi. Tapi Mama Umi sudah berdiri di depan pintu dengan tangan kanan menunjuk pintu kamar mandi.  Mereka tertawa-tawa dan berebutan menyambar handuk, mereka sudah hafal dengan apa yang akan terjadi bila membantah setelah melihat ekspresi muka emaknya ini.


Catatan:

*Nutkin adalah karakter Tupai nakal dalam buku cerita anak karangan Beatrix Potter.


#KLIPAPRIL2020

#04_04_2020_01

PENYELUNDUP


Sampai saat ini, saya sudah tiga kali membeli mesin jahit. Mesin jahit pertama, dibeli sekitar tahun 2013, bentuknya mesin jahit mini. Waktu itu mesin jahit mini adalah barang baru, adapun barang yang sempat saya jahit berupa sarung bantal, keliman pakaian dan seringnya untuk perbaikan baju-baju yang jahitannya ambyar. Waktu itu belum kepikiran untuk membeli mesin jahit beneran, karena saya pikir pasti susah, saya kan tidak pernah belajar/kursus menjahit.


Melalui pertemanan di FB, saya mulai mengikuti beberapa grup tentang craft dan berkenalan dengan kerajinan berbasis ketrampilan menjahit. Dari sana saya baru tahu, ternyata ada mesin jahit portable yang mudah digunakan, user friendly lah istilahnya. Ada satu merk yang saya taksir, Karena harganya lumayan mahal bagi saya, maka saat itu saya berkomitmen uang tabungan di perkumpulan ibu-ibu yang saya ikuti, akan saya gunakan untuk membeli mesin jahit. Akhirnya sebuah mesin jahit portable merk Singer scholastic berhasil saya miliki. Sebenarnya ada bonus kursus pola dasar dari agen, tetapi karena harus ke Palembang, bonus tidak saya ambil. Sebagai gantinya saya bolak-balik nonton youtube dan mengunjungi berbagai website tentang fitur-fitur dan cara mengoperasikan mesin jahit serta proyek-proyek jahitan sederhana.


Mesin jahit Singer scholastic itu saya namai "Noni". Saat Noni dibeli, saya sedang hamil anak ke 3, beberapa perlengkapan bayi berhasil saya jahit sendiri. Kemudian saya mulai belajar membuat produk home decor dan tas. Lama-lama, selain bahan kain, saya tertarik membuat produk yang berbahan kulit sintetis, kemudian kulit asli, yang mana itu di luar kemampuan si Noni. Sehingga saya mulai menabung lagi untuk bisa membeli mesin jahit High Speed atau portable varian Heavy Duty. 


Singkat cerita, Sekarang saya sudah punya mesin Heavy Duty, masih keluaran dari fabrikan yang sama. Fisiknya lebih kokoh dan larinya lebih kencang, jahitannya juga lebih tedas untuk bahan yang tebal. Dia dinamai "Nino" kebalikan aja dari "Noni". Pilihan jatuh ke portable lagi, karena mempertimbangkan domisili yang berpindah-pindah. 


Kalau saya ingat-ingat lagi ternyata dulu saat masih kanak-kanak saya punya kenangan khusus tentang jahit-menjahit. Adalah Nenek sepupu saya, yang tinggal di sebelah rumah, seorang perempuan lansia yang tidak bisa diam. Sewaktu muda konon beliau adalah pekerja keras, dan ketika mulai menapakai usia senja tetap tidak bisa cuma duduk berpangku tangan. Sambil mengunyah sirih dan sesekali menyemburkan ludah berwarna merah, Mbok Siyam, begitulah kami memanggil Almarhumah, beliau biasa duduk di halaman sambil menyiangi daun kelapa, membuatnya jadi sapu lidi. Sering juga saya melihat beliau membawa koret, untuk membersihkan rumput di halaman. Kali lain beliau membuat bantal dan kasur isi kapuk randu yang diambil dari kebun. Proses pembuatan kasur dan bantal inilah kenangan saya tentang jahit menjahit yang membekas sampai dewasa.


Mbok Siyam, akan memanggil siapa saja yang ada di dekatnya termasuk saya untuk membantunya memasukkan benang ke jarum. Kalau benang di jarumnya sudah habis, beliau akan berteriak memanggil siapa saja yang dilihatnya untuk memasukkan benang lagi, begitu seterusnya. 

"Mreneo... ki selundupke benange"! begitulah perintahnya yang harus kami turuti.


Kadang-kadang sambil bermain saya memperhatikan caranya menjahit bantal-bantal itu. Berpuluh-puluh tahun kemudian saya baru tahu teknik menjahitnya itu disebut running sticht, back sticht, hidden sticht dan whip sticht yang termasuk kategori dasar-dasar teknik jahitan tangan . Saya pikir itulah awal mulanya kisah saya menjadi tukang penyelundup benang. Untung dulu saya nurut saja disuruh jadi penyelundup, rupanya ilmunya berguna sampai sekarang. Alhamdulillah.


#KLIP_JUNI_2020

#26_06_2020_06


*Foto: 

Patung Ibu Fatmawati sedang menjahit bendera pusaka Sang Merah Putih, di museum benteng Vredeburg Yogyakarta.

TUNGGU AKU DI AFRIKA

 


Ibuku bekerja sebagai petani kopi, Arabica dan Robusta. Jadi jangan tanya kenapa aku suka kopi sebab kopi adalah sarapan kami sejak kecil, minuman untuk menjamu tamu juga pelepas lelah di siang atau sore hari.

Hari-hari ibuku adalah mengurus rumah tangga dan kebunnya, telapak tangannya menjadi tebal dan kasar akibat kerja keras membersihkan rumput, memupuk, membuang tunas, memetik kopi ditambah urusan lain-lainnya. Hebatnya hampir tiap malam ibu masih sempat mendongeng untuk kami, mulai dari cindelaras sampai cinderella, Mahabarata hingga kisah 25 Nabi dan Rasul, tak ketinggalan si Kancil, Ramayana, Walisongo dan dongeng-dongeng yang kelak kuketahui sebagai karangan ibu sendiri.


Jika tiba masa libur sekolah kami ikut ibu ke kebun, tahulah aku bagaimana susahnya membersihkan rumput alang-alang yang di dalam tanah akarnya menjalar kemana-mana,putih wanginya bunga kopi, manis kulit buahnya, dan pedasnya gigitan semut hitam di mata. Kata ibuku kalau tak mau kerja keras jadi petani sekolah lah yang pintar. Dan jika petaninya pintar hasil pertaniannya bisa meningkat ya :-) .

Warga kampung kami memang rata-rata bertani kopi, di pagi hari kami berangkat bersama menuju kebun masing-masing dan sepakat untuk pulang bersama juga pada siang harinya. 

Dulu zaman aku SD (pertengahan 80-an -90an) tidak ada yang membawa jam tangan ke kebun, yang jadi patokan waktu adalah melintasnya pesawat terbang di langit. Pesawat pertama melintas antara pukul sembilan sampai sepuluh, pesawat kedua melintas antara pukul sebelas sampai dua belas. Maka kesepakatannya adalah setelah pesawat terbang yang kedua kami segera menyelesaikan pekerjaan dan berkumpul di satu titik koordinat, menunggu kawan kemudian pulang bersama.


Kebun ibuku bersebelahan dengan kebun kakaknya (Pakde ku), jika hendak pulang bersama titik temunya adalah gubuk di kebun Pak De.  Jika kebetulan bapakku bisa menemani ibu ke kebun dan bekerja di bagian kebun yang berbeda maka aku biasa mendengar kalimat ini " mengko tak tunggu neng Afrika yo" (Nanti ku tunggu di Afrika ya).

Yang dimaksud adalah pohon tinggi besar yang kelihatan dari arah manapun kebun ibu, daunnya rimbun berhadapan, hijau berkilat,tepi daun bergerigi, buahnya hampir seperti melinjo dengan bau yang khas. Suatu hari nanti aku tahu pohon itu memang berasal dari benua Afrika,nama ilmiahnya Maesopsis eminii.


Cinta Manis 22 September 2015

#Catatan_perantau#

Tuesday, September 8, 2020

ANTARA AKU, SI NONI DAN PANGERAN DARI PERSIA (Bagian Empat)

 

Sekitar tahun 2001, selesai KKN, saya tinggal di sebuah gang, menempati rumah mungil bersama adik-adik.  Malam hari selepas magrib, beberapa anak tetangga datang untuk belajar Iqro.  Jumlahnya sekitar 10-15 orang, dengan militansi yang luar biasa.

Kadang-kadang, saya terlambat pulang, sampai di rumah ketika sudah magrib, dalam keadaan belum mandi, bahkan ada kalanya terpaksa sholat magrib di jalan. Anak-anak itu tidak mau tahu, pokoknya harus harus ngaji. Walhasil mereka tetap masuk rumah, menunggu saya selesai sholat, mereka menunggu sambil membaca buku dan majalah anak-anak.


Bacaan yang bisa kami sediakan sebagian besar adalah majalah bekas, ada juga yang berupa kumpulan buletin, bonus dari majalah ibu-ibu. Sedangkan buku-buku ceritanya adalah hasil berburu diskon dan buku-buku murah yang dicetak pada kertas buram. Ceritanya tentang kisah para Nabi, fabel, dan dongeng nusantara maupun internasional. Di salah satu buku itulah saya menemukan seorang "Pangeran dari Persia".


Kisah sang Pangeran itu akan saya ceritakan ulang, dan tentunya tidak sama persis dengan yang tertulis di buku, karena keterbatasan ingatan saya. 


Tersebutlah raja Persia saat itu memiliki seorang putra yang sudah beranjak dewasa.  Sebagai calon penerus tahta, maka raja mendidik pangeran dengan berbagai macam pelajaran dari guru-guru terbaik.  Hingga suatu ketika sang raja menguji kemampuan putranya. Hasilnya ia puas dengan kecerdasan dan pengetahuan sang pangeran.  

Kemudian sang raja mengajukan satu pertanyaan; 


"Apakah engkau bisa membuat sesuatu, yang apabila orang lain melihatnya maka orang itu akan mengingat dirimu"?.


Pangeran itu terdiam, selama ini ia hanya belajar, ia menguasai berbagai ilmu pengetahuan, tapi rasanya ia tidak bisa membuat apa-apa, semua yang ia butuhkan sudah tersedia, tidak perlu membuat apapun.

Raja yang mengetahui hal itu, melanjutkan;


"ketahuilah, kemampuan membuat sesuatu itu penting, seseorang akan bisa dikenali dari apa yang ia buat".  

"Untuk itu, mulai hari ini belajarlah membuat sesuatu"


Sejak hari itu, sang pangeran rajin berkeliling kerajaan untuk melihat apa saja yang dibuat orang-orang.  Dia mengamati bahwa orang-orang ternyata sibuk bekerja, membuat sesuatu.  Ada yang membuat makanan, minuman, pakaian, perhiasan, perabotan rumah tangga, alat musik, lukisan dan lain-lain.   Pengamatannya terus berlangsung, sampai akhirnya ia menentukan pilihan pada sesuatu yang ingin ia kuasai cara pembuatannya, dan membuat orang lain mengingat dirinya.


Ia tekun belajar. Setiap pagi ditinggalkannya istana dan pulang ketika senja.  Hingga tibalah saat ia menunjukkan hasilnya kepada Raja.  Sang Pangeran datang menghadap ayahnya sambil membawa sesuatu yang ia buat dengan tangannya sendiri.


Bersambung

ANTARA AKU, SI NONI DAN PANGERAN DARI PERSIA (Bagian Tiga)


Bukan, tebakanmu keliru, dia, Sang pangeran itu bukan Dastan, bukan si pencuri hati putri dari Alamut, yang memiliki belati pembalik waktu.  Pangeran ini mungkin juga tidak muncul kalau dicari di wikipedia, karena bukan di sana aku bertemu dengannya.


Bersambung

ANTARA AKU, SI NONI DAN PANGERAN DARI PERSIA (Bagian 2)

 



Noni membuat rumah jadi ramai.  Ibu-ibu komplek datang sekedar melihat atau mencoba keahlian Noni. Hari-hari itu, pekerjaan utama Noni adalah memperbaiki sesuatu; daster sobek, baju kebesaran, celana kepanjangan, karet kedodoran, kancing lepas dan sebagainya.  Mereka yang datang, akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama bahwa menjahit itu menyenangkan, mudah dan tidak ribet. Menjahit loh ya, tidak termasuk mengukur, dan membuat pola.


Seiring waktu berlalu, racun yang ditebarkan Noni mulai bekerja.  Teman-teman Noni yang semula diabaikan tuannya, eh Nyonya, mulai mendapat perhatian, mereka berfungsi kembali, tidak lagi diam membisu di sudut ruangan atau terlupakan di seberang lautan. Mereka kembali menjadi pemeran utama, di panggungnya masing-masing.  Saat itulah saya menyadari kekuatan racun Noni, dan saya pun memutuskan untuk tidak minum racun ini sendirian.


Korban mulai berjatuhan, terguling-guling kesenangan terkena racun Noni. Dimulai dari orang-orang dekat, orang-orang agak jauh, sampai pada mereka yang bilang saya kurang kerjaan, akhirnya mengadopsi salah satu saudara Noni. Rasakan !.


Pengalaman menjahit saya  dimulai pada tahun 1997, saat itu saya kelas 2 SMA.  Dimulai dari keinginan saya untuk berhijab, setelah seorang guru meminjamkan sebuah buku terjemahan berjudul "Fikih Wanita".  Dari buku itu, terang benderang saya tahu, menutup aurat adalah wajib hukumnya bagi perempuan yang sudah baligh. Masalahnya, orang tua saya tidak setuju kalau anak gadisnya satu-satunya pakai jilbab, nanti saja kalau sudah kuliah, begitu jawabnya tiap kali saya utarakan niat berhijab.  

Satu-persatu teman sekolah mulai berhijab, dan itu membuat hati saya bergemuruh tiap kali melihatnya, iri, cemburu, mudah sekali bagi mereka, jalan untuk berhijab.  Dan rupanya teman-teman saya tidak tinggal diam.  Suatu hari, sepulang sekolah, mereka memberi saya satu kantong plastik besar, isinya seragam putih-abu dan pramuka, jilbab kaos, ciput, mitela, dan manset.  Itu adalah hadiah yang sangat indah.


Dan semuanya dimulai, karena "Size Does Matter". Rok seragamnya kepanjangan.  Pada akhir pekan, berbekal jarum, benang dan silet, saya mengurung diri di kamar, susah payah memendekkan rok abu-abu dan pramuka. Saya kira itulah karya jahit saya yang paling istimewa, permak dua pasang seragam SMA.  


Hari seninnya saya resmi berhijab ke sekolah, sekaligus mengukuhkan stempel yang lama disematkan sejak kecil, keras kepala, ndableg, stubborn.  

Tapi sebenarnya bukan kisah itu alasan utama kenapa saya tertarik pada dunia jahit-menjahit.  Adalah seorang pangeran dari Persia yang menyadarkan saya untuk bisa membuat suatu karya, yang bisa mewakili kehadiran si pembuat lewat karya itu.


Bersambung

ANTARA AKU, SI NONI DAN PANGERAN DARI PERSIA (Bagian 1)

 


Akhir tahun 2014 yang lalu, saya memutuskan membeli sebuah mesin jahit. Pada penjualnya, saya minta mesin dengan spek* paling sederhana, paling mudah dioperasikan, tapi kuat dan bisa diandalkan, karena saya tidak pernah belajar menjahit sebelumnya. 

Seharian saya duduk di toko itu, belajar mengoperasikan mesin, membongkar-pasang sekoci, mengisi spul, dan menggunakan seperangkat sepatu jahit bawaan sesuai fungsinya.  Bila waktu sholat tiba, menyebranglah saya ke masjid Agung Palembang, sholat lalu makan pempek dan minum teh botol dingin.  Saat itu saya sedang hamil anak ke Empat, kandungan usia 5 bulan. Sore hari, mesin jahit itu saya bawa pulang ke Cinta Manis, sejak saat itu dia menjadi anggota keluarga dan diberi nama "Noni".


Noni membuat saya rajin online, nonton youtube, download tutorial, belanja kain dan pernak-pernik jahit di olshop, membuat Pak Pos dan kurir ekspedisi sering mampir. Noni menemani saya, saat insomnia karena ditinggal shif malam, membuat saya merasa "keren" ketika berhasil mempraktekkan sebuah tutorial, tapi dia juga membuat saya manyun ketika menyadari resleting yang sudah dijahit ternyata belum berkepala, kantong dijahit terbalik, jahitan semrawut macam rambut gimbal, dan sebagainya. 

Noni adalah teman yang baik. Memang harus diakui dia agak berisik, tapi kabar baiknya dia berisik karena dia bekerja, bukan cuma komentar dari pinggir lapangan. 


Keberadaan Noni juga memancing komentar dari beberapa teman bahwa saya kurang kerjaan.  Sudahlah sedang hamil, anak masih kecil-kecil, ngurusi PAUD (yang kemudian saya tinggalkan), masih juga ecek-ecek beli mesin jahit, mending kalau sudah pintar menjahit, belajar aja belum pernah, dan lain-lain.  Tersinggung? kadang iya, kadang tidak, tergantung apakah saya sudah ngopi atau belum.  Satu yang pasti, yang semula tidak saya sadari, diam-diam Noni mulai menebarkan racun. 


(Bersambung)

Thursday, September 3, 2020

SENJA DI KALIANDA


Hari sudah sore menjelang waktu Asar, ketika mobil kami memasuki halaman sebuah hotel. Sayang sekali, kamar yang tersisa hanya single dan double biasa yang ukurannya kecil. Hari itu sabtu malam minggu, kamar penuh, tinggal dua itu saja pilihannya. Tidak disangka, mbak resepsionis menyarankan sebuah guest house yang letaknya di seberang jalan, tidak jauh dari hotel ini.


Alhamdulillah, masih ada satu kamar ukuran besar. Ibu resepsionis bilang hari ini rata-rata hotel dan penginapan full booked. Kami jadi menginap di sana, sebuah kamar yang cukup luas dengan double bed plus satu ekstra bed lagi cukup untuk beristirahat kami berlima anak beranak. 


Usai sholat asar, saya mengajak si sulung untuk jalan-jalan cari jajanan di sekitar tempat itu, sementara adik-adiknya asyik bermain air dan bapaknya beristirahat. Beberapa menit kemudian kami balik lagi dengan menenteng sekantong besar aneka cemilan dan empat gelas bubble tea rasa coklat dan original.


Di teras penginapan tersedia bangku panjang dan meja kayu. Di sana kami duduk-duduk menikmati panorama senja. Ratusan capung berterbangan di halaman, membuat duo krucil takjub dengan pemandangan itu.


"Mama, kenapa capung-capung itu banyak banget terbang di sini?" tanya si adek.


"Hmmm...kenapa ya, mungkin mereka senang dengan tempat ini" jawabku.


"Aku juga senang dengan tempat ini" kata adek lagi.


"Aku juga" sahut si teteh.


" Mama lihat, lampu taman itu bentuknya kayak permen lolipop di candy crush!" sambung si teteh lagi.


Di teras, kami menikmati segarnya bubble tea dan gurihnya kerupuk ikan dicocol sambal botolan, juga cemilan-cemilan yang lain. Anak-anak mencoba menghitung jumlah capung sampai mereka capek sendiri. Dan langit makin lama makin merah lalu mulai gelap, pohon-pohon kelapa nampak sebagai siluet di kejauhan. 

Suasana senja itu sepertinya sangat membekas di benak anak-anak. Semoga mereka selalu mengenangnya sebagai suatu senja yang indah di Kalianda.

Kalianda, Lampung Selatan


#05_05_2020

Catatan Delia

PERANGKAP HEBAT SOMA

Saya sedang berusaha merapikan koleksi buku bacaan anak yang saya bawa dari rumah Bandar Lampung ke rumah Cinta Manis. Tadinya buku-buku i...