Menulis mengikat pengetahuan, mengabadikan kenangan, membagi kebahagiaan
Showing posts with label Our Stories. Show all posts
Showing posts with label Our Stories. Show all posts

Wednesday, December 9, 2020

PENGALAMAN NYOBLOS SAAT PANDEMI


 

Pandemi Korona yang melanda dunia termasuk Indonesia membuat kita mengalami berbagai peristiwa yang sebelumnya mungkin tidak pernah terbayangkan, misalnya Lockdown, wajib masker, protokol kesehatan, Belajar Dari Rumah, Kerja Dari Rumah dan lain-lain. Kita juga menjadi terbiasa dengan istilah rapid test, swab, OTG, ODP, positif, negatif, reaktif, isolasi mandiri, baksos juga bansos. 

Ketika kegiatan belajar mengajar bahkan bekerja (kantoran) bisa dilakukan dari rumah, ternyata Penyelenggaraan Pilkada serentak secara Nasional pada hari ini rabu 9 Desember 2020 tetap dilakukan di TPS, bukan dari rumah. Padahal saya sempat membayangkan barangkali enak ya kalau bisa nyoblos juga dari rumah. Semua warga wajib punya akun yang akan digunakan pada hari H, tinggal vote pilih no 1, 2, 3 sesuka hatinya dan angka perolehan suaranya bisa dilihat secara langsung saat itu juga.

Saturday, October 3, 2020

ANTARA AKU, HUJAN DAN KETAN

 



Aku masih penasaran dengan benda bercahaya biru di langit semalam. Maka pagi-pagi aku naik ke tempat menjemur pakaian, memastikan cahaya yang kulihat bukan dari menara pemancar sinyal telepon seluler, lagipula biasanya lampu pemancar berwarna merah atau jingga. Tidak nampak lagi benda biru itu di langit, tapi di kejauhan aku melihat sebuah menara. Mungkin cahaya semalam asalnya dari sana. Aku mengingat baik-baik posisi menara di kejauhan itu dan akan kupastikan nanti malam apakah cahaya biru itu datang dari sana. Sementara itu matahari mulai terbit, langit bersih, hanya tersaput awan sirus tipis-tipis menampilkan warna jingga yang makin lama makin terang dan memutih.

Rupanya cuaca cerah pagi ini hanya sebagai sambutan. Menjelang pukul sembilan langit mulai gelap. Suara klakson sepeda motor Bude sayur terdengar nyaring memasuki komplek. Iseng-iseng kuperhatikan klakson itu memiliki pola pendek-pendek empat kali di awal dan satu kali panjang di akhir, jika diterjemahkan sebagai sandi morse, maka polanya seperti ini ". . . . _" , pola itu artinya angka "4". Entah sengaja atau tidak si Bude berulang-ulang membunyikan angka empat, mungkin maksudnya agar kami, ibu-ibu komplek ini cepat-cepat (keluar dan membeli dagangannya).

Ketika sedang memilih sayuran, si Bude berkata :
"Besok saya nggak jualan Bu"
"Lho, mau ke mana Bude, liburan?" tanyaku.

"Enggak, kemarin itu diomongin, ponakan saya mau nikah, mau nganter"

"Oh gitu, berarti saya tak belanja sekalian buat besok", "Yang ini apa, tape?" tanyaku sambil menunjuk plastik bening berisi bungkusan daun pisang.

"Bukan, itu ketan, pakai serundeng, enak ini Bu, awet juga sampai sore nggak basi, serundengnya dipisah" jawabnya, sambil promosi.

"Oh, yang bungkusnya kecil-kecil ini serundengnya, berapa bude?"

"Tiga ribuan, ambil semua ya".

Akhirnya plastik bungkusan isi ketan itupun masuk ke dalam belanjaanku pagi ini.

Beberapa menit setelah Bude sayur berlalu, hujan pun turun. Ah, untung saja aku sudah selesai mencuci. Tadi pagi satu bak besar cucian berhasil kuselesaikan sambil memasak. Tentu saja gerombolan cucian itu tidak dikucek, alias langsung berendam air sabun sambil berputar-putar di mesin cuci. Teknologi memang seharusnya membuat pekerjaan jadi semakin ringan, Alhamdulillah.

Hujan turun terus hari ini, sampai menjelang adzan zuhur, hujan berhenti sebentar kemudian turun lagi. Barangkali, seperti bumi yang kering merindukan kehadirannya, hujan juga sebenarnya tidak kuat lagi bergelantungan di awan dan hanya melihat bumi dari atas sana. Karena ini adalah hari ketiga hujan turun berturut-turut, artinya sudah tiga hari juga aku tidak perlu menyiram bunga di halaman.

Akhir pekan, cuaca syahdu diguyur hujan, membuat mulutku kesepian. Dan itu membuatku teringat pada bungkusan ketan yang kubeli tadi pagi. Tidak lengkap rasanya kalau ketan serundeng dimakan begitu saja tanpa ditemani pelengkapnya, teh tubruk nasgitel. Maka aku menjerang air, menyeduh segelas teh dan membuka bungkusan ketan. Di luar dugaan, alih-alih ketan putih, ternyata isinya ketan hitam.

Duduklah aku menghadapi meja berkaki pendek di dekat jendela. Kunikmati manis gurihnya ketan hitam dengan serundengnya sambil menyesap teh tubruk yang masih panas. Hujan yang kulihat di luar jendela, menambah nikmat rasa hidangan ini. Hingga ketika ketan itu tersisa dua-tiga suap lagi, kudengar suara tangis bayi. Kusempatkan menyesap teh tubruk sekali, lalu bergegas menuju suara itu sambil berseru "i'm coming!". Singkat cerita, beberapa puluh menit kemudian, selesailah tulisan ini.

Monday, September 28, 2020

BELAJAR BERKUALITAS MELALUI KOMUNITAS

Manusia memiliki kebutuhan untuk hidup atau berkumpul bersama dengan manusia lainnya. Menyenangkan sekali jika kita bisa berkumpul dengan orang lain yang memiliki kesamaan dengan kita. Kesamaan inilah yang mendasari terbentuknya suatu komunitas dan menarik minat orang lain untuk bergabung ke dalamnya. Ketika saya mengikuti suami yang ditugaskan ke propinsi lain  (Sumatera Selatan) dan tinggal di lingkungan perkebunan dan pabrik gula pada tahun 2008, di sanalah awal saya masuk dalam beberapa komunitas baru yang memberi warna-warni pada hari-hari yang saya jalani.


Saya memilih mengikuti komunitas secara online saja, karena terbatas pada masalah transportasi untuk dapat bertatap muka dengan anggota lain. Komunitas yang pertama saya ikuti saat itu adalah sebuah grup crafter di Facebook yang dimotori oleh Nurul Septiani Tareem, namanya Ibu-Ibu Hobi Craft. Saat itu saya tertarik dengan aneka tutorial craft yang ada, terutama yang berupa jahitan (Sewing Craft). Ketika diadakan event Craft Swab atau pertukaran hasil karya, saya mendapat sebuah dompet rajut berbentuk kepik, dan mengirimkan sebuah dompet kain yang dijahit tangan, karena belum bisa menjahit dengan mesin. Inilah awal munculnya keinginan saya untuk memiliki dan bisa menggunakan mesin jahit.

Beberapa waktu kemudian saya juga bergabung dengan Grup Craftalova Fabric Club yang dibuat oleh mbak Ayu Ovira. Di grup ini saya mendapat banyak ilmu melalui berbagai tutorial yang dibagikan oleh sesama member. Saya juga menjadi percaya bahwa siapa pun bisa belajar menjahit, asalkan mau dan bersungguh-sungguh. Grup ini juga memiliki semacam sub grup yang dikhususkan untuk jual beli bahan Craft sehingga memudahkan member untuk mendapatkan alat dan bahan craft yang dibutuhkan. Sampai sekarang sebagian besar bahan tas dan kerajinan lain yang saya gunakan, diperoleh dari anggota grup ini.

Selain dunia craft, saya juga tertarik dengan kegiatan menulis. Lagi-lagi saya bergabung dengan sebuah grup Facebook bernama Komunitas Bisa Menulis, yang dibuat oleh sepasang suami istri penulis, Isa Alamsyah dan Asma Nadia. Setiap hari ada ratusan tulisan yang masuk, baik yang ditulis oleh para "penulis" maupun oleh member yang baru belajar menulis. Melalui komunitas ini saya juga melihat bahwa siapapun bisa menulis, dan siapapun yang tidak bisa, ia bisa belajar asalkan mau dan bersungguh-sungguh, termasuk belajar menulis yang baik dan benar sesuai kaidah penulisan dalam bahasa Indonesia.

Meskipun hanya menjadi anggota biasa pada komunitas-komunitas yang saya ikuti di atas, pada akhirnya saya menyadari bahwa dengan bergabung bersama sebuah komunitas, selain menambah jumlah teman, kita juga bisa lebih mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Dukungan teman-teman dengan minat yang sama, menjadi semacam penyemangat untuk bisa berkarya dan meningkatkan kualitas karya berikutnya.  Di kampung halaman saya, di Lampung Utara,  saya mencoba membangun komunitas membaca, yang diawali dengan membuat sebuah taman baca dengan target anak usia sekolah SD-SMP.  Tujuan kami sederhana saja, meningkatkan minat baca dan menyediakan fasilitas bacaan anak yang berkualitas.  Kami berharap dengan membaca itu lah jendela-jendela pengetahuan terbuka dan anak-anak bergerak, bersemangat untuk meraih cita-cita mereka.

Sunday, September 13, 2020

DINDIN BADINDIN

...

Ikolah indang oi sungai garinggiang

Kami tarikan basamo-samo

Sambuiklah salam oi sambah mairiang

Pado dunsanak alek nan tibo

...



Suatu pagi, sesaat setelah mendengar bait lagu itu, tiba-tiba raut muka anak keduaku, si Teteh, berubah muram. Dengan nada kecewa ia berkata:

" ini kan, lagu itu kan, dindin badindin?"

"Iya, kenapa teh?" jawabku.

"Aku kan udah pernah latihan nari lagu ini, sama Bu Septa".

"Oh, iya ya. Teteh pernah ikut ekskul nari ya waktu itu" jawabku lagi.


Sebelum era Sekolah Dari Rumah (School From Home) gara-gara covid-19, si teteh ikut ekskul menari di sekolahnya. Rencananya saat acara parenting yang sekaligus pentas seni, teteh dan teman-temannya akan menampilkan tarian Dindin Bandindin. Latihan demi latihan dilakukan anak-anak sepulang sekolah pada jam ekskul masing-masing.


Kebijakan Sekolah Dari Rumah, membuat acara parenting juga ditiadakan. Bukan sekali-dua kali anak-anak di rumah mengeluh bosan, capek, kangen Bu guru, kangen teman-teman sekolah dan sebagainya tentang sekolahnya. Saya yakin keluhan seperti ini juga disampaikan anak-anak di rumah lain, di tempat lain bahkan di negara lain, yang sama-sama menerapkan kebijakan Sekolah Dari Rumah, demi menyelamatkan anak-anak dari wabah Korona.


Tentang lagu dan tari Dindin Badindin itu, ada kekecewaan yang lain yang dirasakan oleh si Teteh. Sebuah bentuk kekecewaan seakan-akan apa yang telah ia lakukan selama ini sia-sia, karena sudah capek-capek latihan tapi tidak jadi tampil. Anak ini memang suka dan menikmati ekskul tarinya, kadang-kadang kami yang ada di rumah dipaksa jadi penonton penampilannya menari, pura-pura sedang tampil di suatu acara. Susah payah kami menjelaskan padanya bahwa kita manusia hanya bisa berencana, tapi tetap Allah juga yang menentukan kenyataannya.


Menghadapi tahun ajaran baru, selain hiruk-pikuk mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), hiruk-pikuk pula pertanyaan dan pendapat apakah anak-anak masih belajar di rumah atau ke sekolah seperti dulu. Kebijakan New Normal membuat para pencari nafkah (ayah dan atau ibu) terpaksa keluar rumah lagi meskipun wabah belum berakhir. Siapa yang akan menemani anak-anak ini belajar jika tetap sekolah dari rumah?. 

Di sisi lain banyak orang tua yang ketar-ketir melepas anak keluar rumah, terutama anak-anak yang masih usia Sekolah Dasar dan Usia Dini.  SOP belajar era New Normal memang sudah beredar, tapi keraguan dan kekhawatiran itu tetap ada, baik dari pihak orang tua, maupun guru-guru di sekolah.


Kalau saya pribadi, saya lebih mengutamakan keselamatan anak-anak, daripada takut ketinggalan pelajaran. Biarlah anak-anak belajar di rumah lebih lama, semampunya, semampu orang tua mendampinginya. Wabah ini benar-benar membuat kita semua belajar sabar, kuat, hemat, empati dan sebagainya secara nyata, bukan cuma teori seperti yang tertera di buku pelajaran anak-anak kita. Bukankah ini sebuah pelajaran yang sangat berharga?.


#KLIP_JUNI_2020

#29_06_2020_09

Friday, September 11, 2020

BUKU RAHASIA (Diedit)

Pada akhir bulan Agustus yang lalu, aku dan anak-anak pindah ke Bandar Lampung. Sebelumnya, selama tiga tahun ini, kami tinggal di Bukit Kemuning, Lampung Utara, sedangkan ayah mereka bekerja dan tinggal di Bandar Lampung. Kami menjalani LDM (Long Distance Marriage) mengikuti istilah zaman sekarang. Barang-barang pindahan kami dikemas dalam box-box plastik dan kemudian diangkut dengan truk.




Saat proses berkemas-kemas, anak sulungku, Silmi, menemukan sebuah buku kecil. Ia membacanya dan terpekik;
"Ini catatan Umi waktu mau melahirkan aku?" Ia bertanya.
"Iya mbak, baca aja kalau mau" jawabku.
"Wow, berarti ini ditulis tahun 2008, sudah 12 tahun yang lalu". Ia membaca catatan itu dengan takjub.
Kenyataannya memang begitu. Dua belas tahun yang lalu, aku ingin mengabadikan proses kelahirannya dalam bentuk tulisan, untuk ia baca nanti, ketika ia sudah besar. Rupanya ia menemukan buku itu saat berusia dua belas tahun

Pada tahun 2011, aku sempat membuat blog. Dengan pengetahuan yang terbatas, blog itu jadi dengan ala kadarnya dan terbengkalai. Selanjutnya aku lebih suka menulis di Facebook, sekedar untuk bersenang-senang, meluahkan rasa dan pendapat. Semakin lama aku semakin suka menulis dan mengunggahnya ke media sosial. Ketika suatu hari dibuka kelas membuat blog dan menulis, aku langsung ikut. Kupikir ini adalah kesempatan bagus untuk meningkatkan ketrampilanku dalam hal menulis dan ngeblog. Aku ingin punya blog yang bagus, bermanfaat dan banyak dikunjungi, sehingga bisa digunakan untuk menyebarkan kebaikan. Mentor yang super keren dan teman-teman yang luar biasa membuatku ikut bersemangat mengikuti kelas ini.

Bandar Lampung 11 September 2020, Diedit Saat Baby Ghazu tertidur lelap.

Thursday, September 10, 2020

JILBAB MARUN


Setelah menunggu sekitar 15 menit bus yang kutunggu datang juga, meskipun bukan AC. Ternyata penumpang bus ini cuma sedikit. Sepasang lelaki-perempuan sepertinya suami-istri, dua siswa SMK, seorang lelaki muda usia sekitar 20an dan aku. Kalau ditambah sopir di depan dan kondektur di belakang sana, hanya ada 8 orang dalam kendaraan besar ini. 

Di daerah Kebun Empat seorang wanita paruh baya, naik. Sekarang kami jadi bersembilan menikmati perjalanan sore ini.


Lelaki muda itu turun di Mulang Maya, dua anak SMK turun di Ogan Lima, ibu paruh baya turun di Cahaya Negri, suami-istri itu turun di Pulau Panggung. Hari mulai gelap, sudah lewat waktu magrib. Tinggal aku saja penumpang yang belum turun.


Kondektur itu sekarang duduk di kursi tepat di depanku, nampaknya Ia kelelahan, kakinya diluruskan. Dalam hati aku bertanya-tanya, berapa mulut yang harus ia beri makan?, masih kecilkah anak(-anaknya)?, apakah anaknya sedang menunggu-nunggu kepulangannya? seperti anak-anakku yang berkali-kali mengirim pesan kapan sampai?. Tidak sopan rasanya kalau aku bertanya langsung, jadi aku diam saja, sambil membalas pesan-pesan yang masuk di ponselku.

Akhirnya aku sampai di tujuan, sebelum melompat turun aku menoleh padanya sambil tersenyum

"Makasih ya Pak, Bu..." 

"Iya..."

Kondektur itu membalas ucapanku sambil tersenyum juga. Cahaya lampu yang temaram membuat kerudungnya yang berwarna marun terlihat lebih gelap.


Bukit Kemuning 26 September 2019

Wednesday, September 9, 2020

BELALANG KUNGFU



Aku memperlihatkan sebuah foto pada anak keduaku.

"Teh, apakah kamu melihat ada seekor binatang di foto ini?"

"Mmmm... apa ya?"

"Coba perhatikan baik-baik"

" Aha, Belalang Kungfu!"

"Kok, Belalang Kungfu?"

" Iya, Kan ini yang ada di Film Kungfu Panda itu"


Padahal aku mengira anak ini akan menjawab "Mentada-mentadu" seperti yang di film Upin-Ipin. Rupanya dia lebih ingat pada tokoh "Mantis" dari perguruan kungfunya Master Shifu daripada belalang sembah yang tertangkap oleh anak-anak kampong durian runtuh itu.


Belalang sembah atau dalam bahasa Inggris disebut Praying Mantis adalah hewan dari ordo Mantodea. Dalam bahasa jawa ia dikenal dengan nama Walang Kekek atau Walang Kadung, sedangkan dalam bahasa sunda disebut Cancorang. Bahkan ada sebuah lagu jawa yang menyebutkan nama hewan ini, judulnya "Walang Kekek" dan sempat dinyanyikan oleh penyanyi jawa legendaris Waljinah.  Ada juga Tim pemadam kebakaran yang dinamai pasukan Walang Kadung.  Belalang sembah yang banyak ditemui di Indonesia adalah jenis yang berwarna hijau dan warna kecoklatan.


Berbeda dengan belalang biasa yang sering kita jumpai, di mana mereka termasuk hama yang memakan daun-daun muda tanaman, belalang sembah justru termasuk predator hama tersebut. Ia memakan serangga lain, bahkan sang betina seringkali memakan sang pejantan usai melakukan kopulasi, diduga karena ia butuh protein yang banyak untuk perkembangan calon anak-anaknya, atau barangkali, bisa jadi untuk memastikan sang pejantan tidak membuahi betina lain. 


Kalau suatu saat Bapak/Ibu menemukan tanaman atau bunga-bunga di halaman dengan daun-daun yang prigis atau bolong-bolong dan kebetulan ada belalang sembah nongkrong di situ, tolong jangan ditangkap. Bukan dia pelakunya, justru dia ada di sana untuk menghabisi hama yang merusak tanaman saudara-saudara sekalian. 

Dan biarlah anakku mengenalnya dengan nama Mantis si belalang kungfu, meskipun aku lebih menyukai tokoh kungfu yang lain, yaitu Chinmi.


#KLIPFEB2020

#18_02_2020_09

TANGAN-TANGAN AJAIB


Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah sebelah, ketika sampai di halaman tiba-tiba sandal jepit saya putus, padahal itu adalah sandal saya yang paling bagus.  Warnanya hitam, di bagian serampatnya ada hiasan kristal-kristal seperti butiran berlian (yang tentu saja palsu), harganya kalau tidak salah Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah, beli di pasar tempel Way Halim. Kepalang tanggung, saya tetap saja melanjutkan berjalan ke rumah sebelah. 


Setelah urusan saya selesai, pulangnya sandal putus itu saya pakai lagi, dan ajaib!, talinya sudah tersambung lagi. Sambil berjalan pulang, saya menebak-nebak pasti ada orang yang memperbaiki, sewaktu saya di dalam tadi.


Beberapa Tahun yang lalu, saat masih tinggal di komplek pabrik gula di Ogan Ilir, saya juga sering menemukan benda-benda yang ditaruh begitu saja di handle pintu atau di paku yang tertancap di tembok.  Biasanya berupa makanan, kadang nasi kotak, kue-kue, buah , makanan ringan dan lain-lain. Kadang-kadang ada pesan tertulisnya, kadang-kadang tidak. 


Jauh bertahun-tahun sebelumnya, sewaktu tinggal di Bandar Lampung, saya juga sering menemukan seikat sayuran, sepapan tempe, seplastik tahu, bahkan sebungkus mie ayam atau makanan lain di depan pintu.  Kalau yang ini saya bisa menebak dengan mudah siapa pelakunya.


Tangan-tangan yang tidak terlihat itu, yang meletakkan benda-benda di depan pintu, atau yang memperbaiki barang-barang tanpa setahu saya, adalah tangan-tangan yang menyampaikan kebaikan.  Bayangkan, siang-siang pulang dari suatu tempat dalam keadaan lapar, menemukan makanan yang siap di makan. Atau pagi-pagi ketika berpikir masak apa hari ini, disambut seikat sayuran segar. Atau ketika saya berpikir apakah saya akan jalan memakai sandal sebelah atau telanjang kaki sekalian, eh ternyata sandalnya bagus lagi.


Percayalah, tidak ada kebaikan yang receh. Sekecil apapun, seringan apapun bagi pelakunya, sebuah kebaikan tetaplah sangat berharga. Bahkan jika ia hanya seberat biji sawi, tak ada kebaikan yang sia-sia.


#KLIP_MEI_2020

#02_03_2020_02

MISI MENYELAMATKAN NUTKIN*


Hari masih pagi, ayuk tukang sayur langganan belum datang. Saya sedang asyik menyelesaikan jahitan masker.  Teteh dan adek pamit mau main sepeda di halaman belakang bengkel.  Beberapa menit kemudian mereka sudah balik lagi, laporan hasil keliling bersepeda sambil ngos-ngosan dan keringatan.  Mama umi mematikan mesin jahit dan pasang muka serius.


" Kalau sudah nggak keringatan, mandi ya, sudah siang nih"

"OK mi, boleh nggak kalo kami main lagi dulu"

"Nggak boleh, kalau main lagi nanti keringatan lagi, mandi dulu baru main lagi".


Serempak mereka berlari ke belakang untuk siap-siap mandi. Namun baru beberapa detik sudah balik lagi juga.


"Mi, di bak kamar mandi ada tikus!" Seru si Teteh.

"Iya mi, tikusnya kecemplung bak mandi!" adek menyambung tak kalah antusias.

" Tikus, apa tupai?, coba lihat lagi!"


Sudah lama tidak ada tikus di rumah ini, jadi Mama Umi menduga yang masuk bak mandi itu adalah tupai. Di belakang rumah sering ada tupai berloncatan di pohon asam, manggis, mangga, nangka, jambu dan kelapa.  Bak kamar mandi tidak diisi air lagi, jadi saya tidak terlalu mengkhawatirkan keselamatan hewan apapun yang kecemplung itu.


"Mi, ternyata itu tupai" kata teteh.

"Iya mi, tupai" sambung adek.

"Darimana kalian tahu itu tupai?"

"Ekornya ada bulu-bulunya eee...mekar gitu" jawab teteh.

"Iya mi" dukung adek. 

(Sebenarnya saya tergelitik untuk menjelaskan bulu itu milik burung, sedangkan mamalia termasuk tupai itu berambut, tapi kayaknya level ini belum saatnya).

"Ok, baknya nggak ada airnya kan, berarti dia nggak tenggelam kan?".

"Ada mi, ada airnya"

"Waduh, kasian dong dia kedinginan, ayo kita keluarin dia".


Anak-anak ikut ke kamar mandi. Di dalam bak yang terisi air kira-kira setinggi satu jengkal, terlihat makhluk mungil itu mengangkat kepalanya agar tidak terendam air. Saya segera mencabut sumbat bak mandi. Kemudian mengambil sebuah ember, memasukkannya ke bak mandi, menggulingkan embernya dan hati-hati berkata pada binatang kecil berambut coklat itu.


" Ayo Nutkin, masuk ke ember ini, jangan takut kami cuma mau menyelamatkanmu"


Tupai itu seperti mengerti, ia masuk ke dalam ember. Kami membawa ember itu ke halaman belakang. Beberapa saat, ia diam saja, mungkin sedang memulihkan tenaga.  Lalu tiba-tiba di depan pohon nangka tupai kecil itu melompat dan anak-anak berseru kegirangan, mengetahui tupai itu baik-baik saja.


"Da-da Nutkin, sampai jumpa, lain kali hati-hati ya

..!"

Anak-anak melambaikan tangan ke arah perginya si tupai.  Mereka segera balik kanan bersiap untuk main lagi. Tapi Mama Umi sudah berdiri di depan pintu dengan tangan kanan menunjuk pintu kamar mandi.  Mereka tertawa-tawa dan berebutan menyambar handuk, mereka sudah hafal dengan apa yang akan terjadi bila membantah setelah melihat ekspresi muka emaknya ini.


Catatan:

*Nutkin adalah karakter Tupai nakal dalam buku cerita anak karangan Beatrix Potter.


#KLIPAPRIL2020

#04_04_2020_01

PENYELUNDUP


Sampai saat ini, saya sudah tiga kali membeli mesin jahit. Mesin jahit pertama, dibeli sekitar tahun 2013, bentuknya mesin jahit mini. Waktu itu mesin jahit mini adalah barang baru, adapun barang yang sempat saya jahit berupa sarung bantal, keliman pakaian dan seringnya untuk perbaikan baju-baju yang jahitannya ambyar. Waktu itu belum kepikiran untuk membeli mesin jahit beneran, karena saya pikir pasti susah, saya kan tidak pernah belajar/kursus menjahit.


Melalui pertemanan di FB, saya mulai mengikuti beberapa grup tentang craft dan berkenalan dengan kerajinan berbasis ketrampilan menjahit. Dari sana saya baru tahu, ternyata ada mesin jahit portable yang mudah digunakan, user friendly lah istilahnya. Ada satu merk yang saya taksir, Karena harganya lumayan mahal bagi saya, maka saat itu saya berkomitmen uang tabungan di perkumpulan ibu-ibu yang saya ikuti, akan saya gunakan untuk membeli mesin jahit. Akhirnya sebuah mesin jahit portable merk Singer scholastic berhasil saya miliki. Sebenarnya ada bonus kursus pola dasar dari agen, tetapi karena harus ke Palembang, bonus tidak saya ambil. Sebagai gantinya saya bolak-balik nonton youtube dan mengunjungi berbagai website tentang fitur-fitur dan cara mengoperasikan mesin jahit serta proyek-proyek jahitan sederhana.


Mesin jahit Singer scholastic itu saya namai "Noni". Saat Noni dibeli, saya sedang hamil anak ke 3, beberapa perlengkapan bayi berhasil saya jahit sendiri. Kemudian saya mulai belajar membuat produk home decor dan tas. Lama-lama, selain bahan kain, saya tertarik membuat produk yang berbahan kulit sintetis, kemudian kulit asli, yang mana itu di luar kemampuan si Noni. Sehingga saya mulai menabung lagi untuk bisa membeli mesin jahit High Speed atau portable varian Heavy Duty. 


Singkat cerita, Sekarang saya sudah punya mesin Heavy Duty, masih keluaran dari fabrikan yang sama. Fisiknya lebih kokoh dan larinya lebih kencang, jahitannya juga lebih tedas untuk bahan yang tebal. Dia dinamai "Nino" kebalikan aja dari "Noni". Pilihan jatuh ke portable lagi, karena mempertimbangkan domisili yang berpindah-pindah. 


Kalau saya ingat-ingat lagi ternyata dulu saat masih kanak-kanak saya punya kenangan khusus tentang jahit-menjahit. Adalah Nenek sepupu saya, yang tinggal di sebelah rumah, seorang perempuan lansia yang tidak bisa diam. Sewaktu muda konon beliau adalah pekerja keras, dan ketika mulai menapakai usia senja tetap tidak bisa cuma duduk berpangku tangan. Sambil mengunyah sirih dan sesekali menyemburkan ludah berwarna merah, Mbok Siyam, begitulah kami memanggil Almarhumah, beliau biasa duduk di halaman sambil menyiangi daun kelapa, membuatnya jadi sapu lidi. Sering juga saya melihat beliau membawa koret, untuk membersihkan rumput di halaman. Kali lain beliau membuat bantal dan kasur isi kapuk randu yang diambil dari kebun. Proses pembuatan kasur dan bantal inilah kenangan saya tentang jahit menjahit yang membekas sampai dewasa.


Mbok Siyam, akan memanggil siapa saja yang ada di dekatnya termasuk saya untuk membantunya memasukkan benang ke jarum. Kalau benang di jarumnya sudah habis, beliau akan berteriak memanggil siapa saja yang dilihatnya untuk memasukkan benang lagi, begitu seterusnya. 

"Mreneo... ki selundupke benange"! begitulah perintahnya yang harus kami turuti.


Kadang-kadang sambil bermain saya memperhatikan caranya menjahit bantal-bantal itu. Berpuluh-puluh tahun kemudian saya baru tahu teknik menjahitnya itu disebut running sticht, back sticht, hidden sticht dan whip sticht yang termasuk kategori dasar-dasar teknik jahitan tangan . Saya pikir itulah awal mulanya kisah saya menjadi tukang penyelundup benang. Untung dulu saya nurut saja disuruh jadi penyelundup, rupanya ilmunya berguna sampai sekarang. Alhamdulillah.


#KLIP_JUNI_2020

#26_06_2020_06


*Foto: 

Patung Ibu Fatmawati sedang menjahit bendera pusaka Sang Merah Putih, di museum benteng Vredeburg Yogyakarta.

TUNGGU AKU DI AFRIKA

 


Ibuku bekerja sebagai petani kopi, Arabica dan Robusta. Jadi jangan tanya kenapa aku suka kopi sebab kopi adalah sarapan kami sejak kecil, minuman untuk menjamu tamu juga pelepas lelah di siang atau sore hari.

Hari-hari ibuku adalah mengurus rumah tangga dan kebunnya, telapak tangannya menjadi tebal dan kasar akibat kerja keras membersihkan rumput, memupuk, membuang tunas, memetik kopi ditambah urusan lain-lainnya. Hebatnya hampir tiap malam ibu masih sempat mendongeng untuk kami, mulai dari cindelaras sampai cinderella, Mahabarata hingga kisah 25 Nabi dan Rasul, tak ketinggalan si Kancil, Ramayana, Walisongo dan dongeng-dongeng yang kelak kuketahui sebagai karangan ibu sendiri.


Jika tiba masa libur sekolah kami ikut ibu ke kebun, tahulah aku bagaimana susahnya membersihkan rumput alang-alang yang di dalam tanah akarnya menjalar kemana-mana,putih wanginya bunga kopi, manis kulit buahnya, dan pedasnya gigitan semut hitam di mata. Kata ibuku kalau tak mau kerja keras jadi petani sekolah lah yang pintar. Dan jika petaninya pintar hasil pertaniannya bisa meningkat ya :-) .

Warga kampung kami memang rata-rata bertani kopi, di pagi hari kami berangkat bersama menuju kebun masing-masing dan sepakat untuk pulang bersama juga pada siang harinya. 

Dulu zaman aku SD (pertengahan 80-an -90an) tidak ada yang membawa jam tangan ke kebun, yang jadi patokan waktu adalah melintasnya pesawat terbang di langit. Pesawat pertama melintas antara pukul sembilan sampai sepuluh, pesawat kedua melintas antara pukul sebelas sampai dua belas. Maka kesepakatannya adalah setelah pesawat terbang yang kedua kami segera menyelesaikan pekerjaan dan berkumpul di satu titik koordinat, menunggu kawan kemudian pulang bersama.


Kebun ibuku bersebelahan dengan kebun kakaknya (Pakde ku), jika hendak pulang bersama titik temunya adalah gubuk di kebun Pak De.  Jika kebetulan bapakku bisa menemani ibu ke kebun dan bekerja di bagian kebun yang berbeda maka aku biasa mendengar kalimat ini " mengko tak tunggu neng Afrika yo" (Nanti ku tunggu di Afrika ya).

Yang dimaksud adalah pohon tinggi besar yang kelihatan dari arah manapun kebun ibu, daunnya rimbun berhadapan, hijau berkilat,tepi daun bergerigi, buahnya hampir seperti melinjo dengan bau yang khas. Suatu hari nanti aku tahu pohon itu memang berasal dari benua Afrika,nama ilmiahnya Maesopsis eminii.


Cinta Manis 22 September 2015

#Catatan_perantau#

Tuesday, September 8, 2020

ANTARA AKU, SI NONI DAN PANGERAN DARI PERSIA (Bagian Empat)

 

Sekitar tahun 2001, selesai KKN, saya tinggal di sebuah gang, menempati rumah mungil bersama adik-adik.  Malam hari selepas magrib, beberapa anak tetangga datang untuk belajar Iqro.  Jumlahnya sekitar 10-15 orang, dengan militansi yang luar biasa.

Kadang-kadang, saya terlambat pulang, sampai di rumah ketika sudah magrib, dalam keadaan belum mandi, bahkan ada kalanya terpaksa sholat magrib di jalan. Anak-anak itu tidak mau tahu, pokoknya harus harus ngaji. Walhasil mereka tetap masuk rumah, menunggu saya selesai sholat, mereka menunggu sambil membaca buku dan majalah anak-anak.


Bacaan yang bisa kami sediakan sebagian besar adalah majalah bekas, ada juga yang berupa kumpulan buletin, bonus dari majalah ibu-ibu. Sedangkan buku-buku ceritanya adalah hasil berburu diskon dan buku-buku murah yang dicetak pada kertas buram. Ceritanya tentang kisah para Nabi, fabel, dan dongeng nusantara maupun internasional. Di salah satu buku itulah saya menemukan seorang "Pangeran dari Persia".


Kisah sang Pangeran itu akan saya ceritakan ulang, dan tentunya tidak sama persis dengan yang tertulis di buku, karena keterbatasan ingatan saya. 


Tersebutlah raja Persia saat itu memiliki seorang putra yang sudah beranjak dewasa.  Sebagai calon penerus tahta, maka raja mendidik pangeran dengan berbagai macam pelajaran dari guru-guru terbaik.  Hingga suatu ketika sang raja menguji kemampuan putranya. Hasilnya ia puas dengan kecerdasan dan pengetahuan sang pangeran.  

Kemudian sang raja mengajukan satu pertanyaan; 


"Apakah engkau bisa membuat sesuatu, yang apabila orang lain melihatnya maka orang itu akan mengingat dirimu"?.


Pangeran itu terdiam, selama ini ia hanya belajar, ia menguasai berbagai ilmu pengetahuan, tapi rasanya ia tidak bisa membuat apa-apa, semua yang ia butuhkan sudah tersedia, tidak perlu membuat apapun.

Raja yang mengetahui hal itu, melanjutkan;


"ketahuilah, kemampuan membuat sesuatu itu penting, seseorang akan bisa dikenali dari apa yang ia buat".  

"Untuk itu, mulai hari ini belajarlah membuat sesuatu"


Sejak hari itu, sang pangeran rajin berkeliling kerajaan untuk melihat apa saja yang dibuat orang-orang.  Dia mengamati bahwa orang-orang ternyata sibuk bekerja, membuat sesuatu.  Ada yang membuat makanan, minuman, pakaian, perhiasan, perabotan rumah tangga, alat musik, lukisan dan lain-lain.   Pengamatannya terus berlangsung, sampai akhirnya ia menentukan pilihan pada sesuatu yang ingin ia kuasai cara pembuatannya, dan membuat orang lain mengingat dirinya.


Ia tekun belajar. Setiap pagi ditinggalkannya istana dan pulang ketika senja.  Hingga tibalah saat ia menunjukkan hasilnya kepada Raja.  Sang Pangeran datang menghadap ayahnya sambil membawa sesuatu yang ia buat dengan tangannya sendiri.


Bersambung

ANTARA AKU, SI NONI DAN PANGERAN DARI PERSIA (Bagian Tiga)


Bukan, tebakanmu keliru, dia, Sang pangeran itu bukan Dastan, bukan si pencuri hati putri dari Alamut, yang memiliki belati pembalik waktu.  Pangeran ini mungkin juga tidak muncul kalau dicari di wikipedia, karena bukan di sana aku bertemu dengannya.


Bersambung

ANTARA AKU, SI NONI DAN PANGERAN DARI PERSIA (Bagian 2)

 



Noni membuat rumah jadi ramai.  Ibu-ibu komplek datang sekedar melihat atau mencoba keahlian Noni. Hari-hari itu, pekerjaan utama Noni adalah memperbaiki sesuatu; daster sobek, baju kebesaran, celana kepanjangan, karet kedodoran, kancing lepas dan sebagainya.  Mereka yang datang, akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama bahwa menjahit itu menyenangkan, mudah dan tidak ribet. Menjahit loh ya, tidak termasuk mengukur, dan membuat pola.


Seiring waktu berlalu, racun yang ditebarkan Noni mulai bekerja.  Teman-teman Noni yang semula diabaikan tuannya, eh Nyonya, mulai mendapat perhatian, mereka berfungsi kembali, tidak lagi diam membisu di sudut ruangan atau terlupakan di seberang lautan. Mereka kembali menjadi pemeran utama, di panggungnya masing-masing.  Saat itulah saya menyadari kekuatan racun Noni, dan saya pun memutuskan untuk tidak minum racun ini sendirian.


Korban mulai berjatuhan, terguling-guling kesenangan terkena racun Noni. Dimulai dari orang-orang dekat, orang-orang agak jauh, sampai pada mereka yang bilang saya kurang kerjaan, akhirnya mengadopsi salah satu saudara Noni. Rasakan !.


Pengalaman menjahit saya  dimulai pada tahun 1997, saat itu saya kelas 2 SMA.  Dimulai dari keinginan saya untuk berhijab, setelah seorang guru meminjamkan sebuah buku terjemahan berjudul "Fikih Wanita".  Dari buku itu, terang benderang saya tahu, menutup aurat adalah wajib hukumnya bagi perempuan yang sudah baligh. Masalahnya, orang tua saya tidak setuju kalau anak gadisnya satu-satunya pakai jilbab, nanti saja kalau sudah kuliah, begitu jawabnya tiap kali saya utarakan niat berhijab.  

Satu-persatu teman sekolah mulai berhijab, dan itu membuat hati saya bergemuruh tiap kali melihatnya, iri, cemburu, mudah sekali bagi mereka, jalan untuk berhijab.  Dan rupanya teman-teman saya tidak tinggal diam.  Suatu hari, sepulang sekolah, mereka memberi saya satu kantong plastik besar, isinya seragam putih-abu dan pramuka, jilbab kaos, ciput, mitela, dan manset.  Itu adalah hadiah yang sangat indah.


Dan semuanya dimulai, karena "Size Does Matter". Rok seragamnya kepanjangan.  Pada akhir pekan, berbekal jarum, benang dan silet, saya mengurung diri di kamar, susah payah memendekkan rok abu-abu dan pramuka. Saya kira itulah karya jahit saya yang paling istimewa, permak dua pasang seragam SMA.  


Hari seninnya saya resmi berhijab ke sekolah, sekaligus mengukuhkan stempel yang lama disematkan sejak kecil, keras kepala, ndableg, stubborn.  

Tapi sebenarnya bukan kisah itu alasan utama kenapa saya tertarik pada dunia jahit-menjahit.  Adalah seorang pangeran dari Persia yang menyadarkan saya untuk bisa membuat suatu karya, yang bisa mewakili kehadiran si pembuat lewat karya itu.


Bersambung

ANTARA AKU, SI NONI DAN PANGERAN DARI PERSIA (Bagian 1)

 


Akhir tahun 2014 yang lalu, saya memutuskan membeli sebuah mesin jahit. Pada penjualnya, saya minta mesin dengan spek* paling sederhana, paling mudah dioperasikan, tapi kuat dan bisa diandalkan, karena saya tidak pernah belajar menjahit sebelumnya. 

Seharian saya duduk di toko itu, belajar mengoperasikan mesin, membongkar-pasang sekoci, mengisi spul, dan menggunakan seperangkat sepatu jahit bawaan sesuai fungsinya.  Bila waktu sholat tiba, menyebranglah saya ke masjid Agung Palembang, sholat lalu makan pempek dan minum teh botol dingin.  Saat itu saya sedang hamil anak ke Empat, kandungan usia 5 bulan. Sore hari, mesin jahit itu saya bawa pulang ke Cinta Manis, sejak saat itu dia menjadi anggota keluarga dan diberi nama "Noni".


Noni membuat saya rajin online, nonton youtube, download tutorial, belanja kain dan pernak-pernik jahit di olshop, membuat Pak Pos dan kurir ekspedisi sering mampir. Noni menemani saya, saat insomnia karena ditinggal shif malam, membuat saya merasa "keren" ketika berhasil mempraktekkan sebuah tutorial, tapi dia juga membuat saya manyun ketika menyadari resleting yang sudah dijahit ternyata belum berkepala, kantong dijahit terbalik, jahitan semrawut macam rambut gimbal, dan sebagainya. 

Noni adalah teman yang baik. Memang harus diakui dia agak berisik, tapi kabar baiknya dia berisik karena dia bekerja, bukan cuma komentar dari pinggir lapangan. 


Keberadaan Noni juga memancing komentar dari beberapa teman bahwa saya kurang kerjaan.  Sudahlah sedang hamil, anak masih kecil-kecil, ngurusi PAUD (yang kemudian saya tinggalkan), masih juga ecek-ecek beli mesin jahit, mending kalau sudah pintar menjahit, belajar aja belum pernah, dan lain-lain.  Tersinggung? kadang iya, kadang tidak, tergantung apakah saya sudah ngopi atau belum.  Satu yang pasti, yang semula tidak saya sadari, diam-diam Noni mulai menebarkan racun. 


(Bersambung)

Thursday, September 3, 2020

SENJA DI KALIANDA


Hari sudah sore menjelang waktu Asar, ketika mobil kami memasuki halaman sebuah hotel. Sayang sekali, kamar yang tersisa hanya single dan double biasa yang ukurannya kecil. Hari itu sabtu malam minggu, kamar penuh, tinggal dua itu saja pilihannya. Tidak disangka, mbak resepsionis menyarankan sebuah guest house yang letaknya di seberang jalan, tidak jauh dari hotel ini.


Alhamdulillah, masih ada satu kamar ukuran besar. Ibu resepsionis bilang hari ini rata-rata hotel dan penginapan full booked. Kami jadi menginap di sana, sebuah kamar yang cukup luas dengan double bed plus satu ekstra bed lagi cukup untuk beristirahat kami berlima anak beranak. 


Usai sholat asar, saya mengajak si sulung untuk jalan-jalan cari jajanan di sekitar tempat itu, sementara adik-adiknya asyik bermain air dan bapaknya beristirahat. Beberapa menit kemudian kami balik lagi dengan menenteng sekantong besar aneka cemilan dan empat gelas bubble tea rasa coklat dan original.


Di teras penginapan tersedia bangku panjang dan meja kayu. Di sana kami duduk-duduk menikmati panorama senja. Ratusan capung berterbangan di halaman, membuat duo krucil takjub dengan pemandangan itu.


"Mama, kenapa capung-capung itu banyak banget terbang di sini?" tanya si adek.


"Hmmm...kenapa ya, mungkin mereka senang dengan tempat ini" jawabku.


"Aku juga senang dengan tempat ini" kata adek lagi.


"Aku juga" sahut si teteh.


" Mama lihat, lampu taman itu bentuknya kayak permen lolipop di candy crush!" sambung si teteh lagi.


Di teras, kami menikmati segarnya bubble tea dan gurihnya kerupuk ikan dicocol sambal botolan, juga cemilan-cemilan yang lain. Anak-anak mencoba menghitung jumlah capung sampai mereka capek sendiri. Dan langit makin lama makin merah lalu mulai gelap, pohon-pohon kelapa nampak sebagai siluet di kejauhan. 

Suasana senja itu sepertinya sangat membekas di benak anak-anak. Semoga mereka selalu mengenangnya sebagai suatu senja yang indah di Kalianda.

Kalianda, Lampung Selatan


#05_05_2020

Catatan Delia

CABE JAWA

Pagi itu adalah hari kedua kami liburan ke rumah Eyang. Saya bermaksud membuat sarapan namun beberapa bahan dapur sudah habis. Masih pukul...