Menulis mengikat pengetahuan, mengabadikan kenangan, membagi kebahagiaan

Saturday, October 3, 2020

ANTARA AKU, HUJAN DAN KETAN

 



Aku masih penasaran dengan benda bercahaya biru di langit semalam. Maka pagi-pagi aku naik ke tempat menjemur pakaian, memastikan cahaya yang kulihat bukan dari menara pemancar sinyal telepon seluler, lagipula biasanya lampu pemancar berwarna merah atau jingga. Tidak nampak lagi benda biru itu di langit, tapi di kejauhan aku melihat sebuah menara. Mungkin cahaya semalam asalnya dari sana. Aku mengingat baik-baik posisi menara di kejauhan itu dan akan kupastikan nanti malam apakah cahaya biru itu datang dari sana. Sementara itu matahari mulai terbit, langit bersih, hanya tersaput awan sirus tipis-tipis menampilkan warna jingga yang makin lama makin terang dan memutih.

Rupanya cuaca cerah pagi ini hanya sebagai sambutan. Menjelang pukul sembilan langit mulai gelap. Suara klakson sepeda motor Bude sayur terdengar nyaring memasuki komplek. Iseng-iseng kuperhatikan klakson itu memiliki pola pendek-pendek empat kali di awal dan satu kali panjang di akhir, jika diterjemahkan sebagai sandi morse, maka polanya seperti ini ". . . . _" , pola itu artinya angka "4". Entah sengaja atau tidak si Bude berulang-ulang membunyikan angka empat, mungkin maksudnya agar kami, ibu-ibu komplek ini cepat-cepat (keluar dan membeli dagangannya).

Ketika sedang memilih sayuran, si Bude berkata :
"Besok saya nggak jualan Bu"
"Lho, mau ke mana Bude, liburan?" tanyaku.

"Enggak, kemarin itu diomongin, ponakan saya mau nikah, mau nganter"

"Oh gitu, berarti saya tak belanja sekalian buat besok", "Yang ini apa, tape?" tanyaku sambil menunjuk plastik bening berisi bungkusan daun pisang.

"Bukan, itu ketan, pakai serundeng, enak ini Bu, awet juga sampai sore nggak basi, serundengnya dipisah" jawabnya, sambil promosi.

"Oh, yang bungkusnya kecil-kecil ini serundengnya, berapa bude?"

"Tiga ribuan, ambil semua ya".

Akhirnya plastik bungkusan isi ketan itupun masuk ke dalam belanjaanku pagi ini.

Beberapa menit setelah Bude sayur berlalu, hujan pun turun. Ah, untung saja aku sudah selesai mencuci. Tadi pagi satu bak besar cucian berhasil kuselesaikan sambil memasak. Tentu saja gerombolan cucian itu tidak dikucek, alias langsung berendam air sabun sambil berputar-putar di mesin cuci. Teknologi memang seharusnya membuat pekerjaan jadi semakin ringan, Alhamdulillah.

Hujan turun terus hari ini, sampai menjelang adzan zuhur, hujan berhenti sebentar kemudian turun lagi. Barangkali, seperti bumi yang kering merindukan kehadirannya, hujan juga sebenarnya tidak kuat lagi bergelantungan di awan dan hanya melihat bumi dari atas sana. Karena ini adalah hari ketiga hujan turun berturut-turut, artinya sudah tiga hari juga aku tidak perlu menyiram bunga di halaman.

Akhir pekan, cuaca syahdu diguyur hujan, membuat mulutku kesepian. Dan itu membuatku teringat pada bungkusan ketan yang kubeli tadi pagi. Tidak lengkap rasanya kalau ketan serundeng dimakan begitu saja tanpa ditemani pelengkapnya, teh tubruk nasgitel. Maka aku menjerang air, menyeduh segelas teh dan membuka bungkusan ketan. Di luar dugaan, alih-alih ketan putih, ternyata isinya ketan hitam.

Duduklah aku menghadapi meja berkaki pendek di dekat jendela. Kunikmati manis gurihnya ketan hitam dengan serundengnya sambil menyesap teh tubruk yang masih panas. Hujan yang kulihat di luar jendela, menambah nikmat rasa hidangan ini. Hingga ketika ketan itu tersisa dua-tiga suap lagi, kudengar suara tangis bayi. Kusempatkan menyesap teh tubruk sekali, lalu bergegas menuju suara itu sambil berseru "i'm coming!". Singkat cerita, beberapa puluh menit kemudian, selesailah tulisan ini.

2 comments:

  1. hujan dan ketan.. sungguh syahdu.. jadi teringat akan kenangan masa lalu..hehe

    ReplyDelete
  2. Iya, kan selalunya begitu, hujan membentuk genangan dan membangkitkan kenangan hehehe

    ReplyDelete

Catatan Delia

PERANGKAP HEBAT SOMA

Saya sedang berusaha merapikan koleksi buku bacaan anak yang saya bawa dari rumah Bandar Lampung ke rumah Cinta Manis. Tadinya buku-buku i...